Monday 8 April 2013

PENGARUH DAN MANFAAT HUBUNGAN ANTARA KEPASTIAN HUKUM KEMANFAATAN HUKUM DAN KEADILAN HUKUM DIDALAM PENERAPAN PENEGAKAN HUKUUM DI INDONESIA


Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang -ulang.  Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefi nisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Walhasil diskurusus tentang keadilan begitu panjang dalam lintasan sejarah filsafat hukum.
Pertama, keadilan dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yangbharus diwujudkan melalui hukum yang ada.
Aristoteles me negaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.









Seperti kita ketahui bersama, ada tiga fungsi utama dari hukum sebagaimana telah disampaikan oleh pakar-pakar ilmu hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.  Ketika kita berbicara mengenai kepastian hukum, tentu kita mengingat kembali akan asas legalitas sebagaimana terdapat dalam pasal 1 KUHP.  Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang teercakup dalam rumus (formule), nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.
Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keadilan sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum.
Berdasarkan anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana seringkali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir barulah “kepastian”.




A.        Kepastian Hukum
Kalau kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai dia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan kemanfaatanya. Karena yang paling terpenting pada nilai kepastian itu adalah peraturan-peraturan perundang-undangan itu sendiri. Apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kemanfaatan saja, maka sebagai nilai dia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kemanfaatan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kemanfaatan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat.








B.         Kemanfaatan Hukum
Berbicara masalah penegakan undang-undang maka kemanfaatan hukum sangat penting untuk diterapkan dalam proses hukum, ketika nilai dasar kepastian hukum ditegakan maka maka secara otomatis akan berguna/bermanfaat baik didalam birokrasi pemerintahan maupun seluruh masyarakat.
Menerapkan nilai dasar kemanfaatan sehingga terciptanya kepastian dan keadilan yang dapat diterimah oleh seluruh komponen masyarakat baik aparatur birokrasi penegak hukum, pemerintah dan kalangan masyarakat bawah dapat kita jalankan pola-pola penyeimbang peraturan perundang-undangan, yaitu mengubah sistem peraturan perundang-undangan dengan menyeimbangkan hukuman bagi para pidana yang perbuatannya atau tindak kejahatannya kecil dapat diselesaikan dengan secara musyawarah, kekeluargaan, sesuai dengan hukum adat masing-masing daerah, maksundnya adalah seperti khasus yang terjadi kepada nene mina dan mas All yang dimana dapat diselesaikan melalui pemerintah kelurahan ataupun desa sesuai dengan cara sistem hukum adat/budaya masing-masing daerah. Jadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi seperti itu dapat dibuatkan suatu perancangan undang-undang yang mengantur tindak-tindak pidana ringan seperti khasus nene mina dan All yang dianggap kepastian hukumnya dan keadilan dapat diterimah oleh masyarakat.
Jadi menurut saya apabila sistem ini diberlakukan dan dibuatkan suatu perancangan peraturan  per undang-undangan maka tidak akan ada lagi polemik-polemik yang terjadi diantara ketiga nilai dasar ini.
C.        Keadilan Hukum
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.





Hubungan Tiga Nilai Dasar Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Hukum didalam Penerapan Peraturan Perundang-undanagn di Indonesia.

Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.






Penutup
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dalam masyarakat.

No comments: