Evolusi filsafat hukum, yang
melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema
tertentu yang muncul berulang -ulang. Di
antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang
persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau
aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.
Keadilan hanya bisa dipahami
jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya
untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis
yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.
Orang dapat menganggap
keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa
pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan
melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan
sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara
umum. Jika begitu, orang dapat mendefi nisikan keadilan dalam satu pengertian
atau pengertian lain dari pandangan ini. Walhasil diskurusus tentang keadilan
begitu panjang dalam lintasan sejarah filsafat hukum.
Pertama, keadilan dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yangbharus
diwujudkan melalui hukum yang ada.
Aristoteles me negaskan
bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya. Baginya, keadilan dipahami
dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.
Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan
proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi
jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam
hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.
John Rawls dengan teori
keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka memperhatikan dua prinsip keadilan,
yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap
orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Seperti
kita ketahui bersama, ada tiga fungsi utama dari hukum sebagaimana telah
disampaikan oleh pakar-pakar ilmu hukum yaitu keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Ketika kita berbicara mengenai kepastian hukum, tentu kita
mengingat kembali akan asas legalitas sebagaimana terdapat dalam pasal 1 KUHP.
Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang teercakup dalam
rumus (formule), nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu
tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut
perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat
dijatuhkan atas delik itu.
Pasal
1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keadilan sosial, Jika kita
berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena
konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada
hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum.
Berdasarkan anggapan tersebut di atas maka
hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus
berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum
dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Gustav Radbruch,
seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum,
yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata
lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch,
ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini
tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana seringkali antara kepastian
hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum
dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim
menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh
hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering
merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau masyarakat luas
dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”.
Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas
prioritas, di mana perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”,
dan terakhir perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan
terakhir barulah “kepastian”.
A.
Kepastian
Hukum
Kalau
kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya
adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan.
Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja
atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Seandainya
kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai dia akan menggeser
nilai-nilai keadilan dan kemanfaatanya. Karena yang paling terpenting
pada nilai kepastian itu adalah peraturan-peraturan perundang-undangan itu
sendiri. Apakah
peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Begitu
juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kemanfaatan
saja, maka sebagai nilai dia akan menggeser nilai kepastian hukum
maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kemanfaatan
adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian
juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai
nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kemanfaatan,
karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun
nilai kemanfaatan,
disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan
nilai kemanfaatan
dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di
antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara
proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat
efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga
ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang
mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi
sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu
dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Oleh
karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan
antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan
pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam
masyarakat.
B.
Kemanfaatan Hukum
Berbicara masalah
penegakan undang-undang maka kemanfaatan hukum sangat penting untuk diterapkan
dalam proses hukum, ketika nilai dasar kepastian hukum ditegakan maka maka
secara otomatis akan berguna/bermanfaat baik didalam birokrasi pemerintahan
maupun seluruh masyarakat.
Menerapkan nilai dasar
kemanfaatan sehingga terciptanya kepastian dan keadilan yang dapat diterimah
oleh seluruh komponen masyarakat baik aparatur birokrasi penegak hukum,
pemerintah dan kalangan masyarakat bawah dapat kita jalankan pola-pola
penyeimbang peraturan perundang-undangan, yaitu mengubah sistem peraturan
perundang-undangan dengan menyeimbangkan hukuman bagi para pidana yang
perbuatannya atau tindak kejahatannya kecil dapat diselesaikan dengan secara
musyawarah, kekeluargaan, sesuai dengan hukum adat masing-masing daerah,
maksundnya adalah seperti khasus yang terjadi kepada nene mina dan mas All yang
dimana dapat diselesaikan melalui pemerintah kelurahan ataupun desa sesuai
dengan cara sistem hukum adat/budaya masing-masing daerah. Jadi
pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi seperti itu dapat dibuatkan suatu
perancangan undang-undang yang mengantur tindak-tindak pidana ringan seperti
khasus nene mina dan All yang dianggap kepastian hukumnya dan keadilan dapat
diterimah oleh masyarakat.
Jadi menurut saya
apabila sistem ini diberlakukan dan dibuatkan suatu perancangan peraturan per undang-undangan maka tidak akan ada lagi
polemik-polemik yang terjadi diantara ketiga nilai dasar ini.
C.
Keadilan
Hukum
Penegakan hukum dan keadilan harus
menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk
merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan
etis, adil tidaknya suatu perkara.
Keadilan berkaitan erat dengan
pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah
Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir
dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap
untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat dan tuntutan jaman.
Hubungan Tiga Nilai
Dasar Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Hukum didalam Penerapan
Peraturan Perundang-undanagn di Indonesia.
Dalam kondisi yang demikian ini,
masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu
peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum
itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk
segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan
bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa
perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat
tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun
secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan
mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan
landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang
dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus
serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa
banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang
dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Keabsahan berlakunya
hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan
satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga
nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas
dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja
dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan
peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid),
bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari
hukum itu.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk
menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat
harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari
masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu
pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Penutup
Dalam kondisi yang
demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu
adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan
apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa
pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis,
mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan
masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan
yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya
kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam praktek kita melihat ada
undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak
dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi
undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan
undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan
serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar
hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian, kemanfaatan, dan keadilan
dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment