BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen
sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai
mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak
mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari
Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme,
hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan
Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari
dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil
kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran
teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu
yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi
bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam
teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak
mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan
keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk
dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu
formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita
keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya
menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori
hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan
alam.
Kelsen juga menolak untuk memberikan
definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu
mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang
dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam
memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih
menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan
norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai
suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja
dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori
tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan;
“Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena
titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia
adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer,
1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa
keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas
sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu
tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia
tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan
rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer, 1974:99).
Teori Kelsen dapat dirumuskan
sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak
mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau
politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori
Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh
pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum
sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu
Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai
kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu
menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang
kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep
yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan
tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi
logis.(Scholten, 1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran
logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh
hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan
keanehan.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah
system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau
das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen
meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang
“seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan
dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum,
yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam
aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk
mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah
norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan
“seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak
bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan
pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral
yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum
selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan
hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum
lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut.
Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan
presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap
teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak
mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan
merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional.
Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi,
tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu
perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam
atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar.
Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif,
dan sifatnya selalu optional.
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia, para pendiri bangsa (founding
fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah Negara sampai pada awal kemerdekaan disusunlah suatu kerangka dasar yakni Pancasila
dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan salah satu Pasal dari UUD 1945 itu yakni Pasal 3 bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum
(hasil amandemen).
Oleh karena itu pentinya arti dasar Negara itu maka tidak lama setelah
munculnya gerakan kebangkitan nasional dikalangan Bangsa Indonesia muncul pulah
benih-benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan dipakai
sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara yang akan dimerdekakan.
Hukum dasar atau konstitusi
Negara Republik Indonesia adalah karya anak bangsa yang berdaulat untuk
menentukan arah bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara olehnya itu dituntut kepada seluruh elemen bangsa ini memiliki dedikasi yang kuat
untuk mengisi Kemerdekaan Negara ini dengan tuntunan pancasila dan Undang
Undang Dasar tersebut. Roh Bangsa Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang
dasar inilah yang melandasi pembentukan segalah bentuk perundang-undangan yang
ada, mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Gubernur sampai kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang ada
di Indonesia (UU Nomor 12 Tahun 2011).
Pandangan diatas menggambarkan bahwa menetapkan hukum dasar dari Negara
tidaklah mudah seperti yang kita bayangkan namun pertanyaannya adalah bagaimana
dengan hukum nasional yang ada setelah
merebut kemerdekaan itu; bagaimana dengan tehnik dan isi dari segala Peraturan
Perundang-Undagan yang ada saat ini.
B.
Rumusan
Masalah
Dengan memperhatikan latar
belakang tersebut,agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang di inginkan,maka
penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah.Rumusan masalah itu adalah :
1.Apakah pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan
perundang-undangan di Indonesia ?
2.Apakah kaitan antara teori
Hans Kalsen “pertanggung jawaban hukum” di dalam penerapan peraturan
perundang-undangan di Indonesia ?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari rumusan masalah dalam makalh ini adalah:
1.Untuk
mengetahui kaitan pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
2.Untuk
mengetahui pengaruh teori Hans Kalsen terhadap pertanggung jawaban hukum dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
D. Manfaat
Manfaat
yang di dapat dari makalah ini adalah:
Mahasiswa
dapat menambah pengetahuan tentang teori hukum, mahasiswa dapat mengetahui
tentang pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan perundang-undangan di
Indonesia dan pertanggung jawaban hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
Teori Hukum Hans Kalsen
terhadap Susunan Undang-Undang di Indonesia
A. Pertanggung Jawaban Hukum
Jika dilihat karya-karya
yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah
utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga
masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena
saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum
secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi
karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang men-jadi
aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen
meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic)
yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub
pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris.
Beberapa ahli me-nyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran
hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat
hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa
interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut
memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum.
Hukum adalah tata aturan
(order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku
manusia. Dengan demi-kian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal
(rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu
kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya
memperhatikan satu aturan saja.
Pernyataan bahwa hukum
adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata
hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga
dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. Suatu aturan
menetapkan pembunuhan sebagai delik terkait dengan tindakan manusia dengan
kematian sebagai hasilnya. Kematian bukan merupakan tindakan, tetapi kondisi
fisiologis. Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukan tindakan
tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi tertentu. Kondisi
tersebut tidak harus berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga berupa suatu
kondisi. Namun, kondisi tersebut baru dapat masuk dalam suatu aturan jika
terkait dengan tindakan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai akibat.
Perbedaan pengaturan apakah suatu perbuatan, suatu kondisi yang dihasilkan,
ataukah keduanya memiliki pengaruh terhadap pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut
menentukan unsur-unsur suatu delik.
Masalah hukum sebagai ilmu
adalah masalah teknik sosial, bukan masalah moral. Tujuan dari suatu sistem
hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan
cara yang ditentukan oleh aturan hukum.24 Namun pernyataan bahwa “tata
aturan masyarakat tertentu yang memiliki karakter hukum adalah suatu
tata hukum” tidak memiliki implikasi penilaian moral bahwa tata aturan
tersebut baik atau adil.
Suatu konsep terkait dengan
konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability).
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan
tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan
yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent
adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus
bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek resposibility dan subyek
kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam
pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut
responsibility).
Pembedaan terminologis
antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi
tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap deliquent tetapi juga terhadap
individu yang secara hukum terkait dengannya. Hubungan tersebut ditentukan oleh
aturan hukum. Pertanggungjawaban korporasi terhadap suatu delik yang dilakukan
oleh organnya dapat menjadi contoh.
Austin menyatakan bahwa
orang terikat dengan keharusan melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah
karena hal itu jahat dan orang itu takut akan sanksi. Namun Apakah seseorang
bertanggungjawab terhadap suatu sanksi atau tidak tidak bergantung pada apakah
dia takut atau tidak terhadap sanksi. Jika benar bahwa seseorang terikat atau
diharuskan karena takut pada sanksi, maka seharusnya definisinya berkembang
menjadi “to be obliged is to fear the sanction.” Tetapi definisi ini
tidak sesuai dengan prinsip teori hukum analisis yang menekankan pada perintah.
Hukum Hans kalsen dan Teori Tegara
Pandangan
yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional
menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang
ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya tentang hukum, yakni teori hukum
murni. Sebagaimana telah dibahas, menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis,
politis dan sebagainya. Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari
faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya. Berbagai ahli non
hukum mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan
dan manfaat dari bidang di luar hukum terhadap pembangunan dan pengembangan
hukum tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans
Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah hukum
positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap prilaku
manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan
disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain,
hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga dapat dipandang sebagai
gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik, disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan
dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana
negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya.
Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep
hukum tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata, sosiologi,
ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu
eksak juga dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain,
kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan dua
obyek yang berbeda”[, “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari
warga negara beserta negara itu sendiri”.
Dilain
pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat
beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ
negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara
tersebut”, “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang
beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”. Oleh karena itu, pendapat
Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep
negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi
negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum
nasional”, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi
kemasyarakatan.
Dalam
arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan
ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga
pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu
ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam realitanya
kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian
organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak
mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri
pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Teori Hukum Murni
Fokus
utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide
transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha
memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang
suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara
hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan
transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi
dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial
spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak
untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan
esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak
perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk
melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin
dan para pengikutnya.
Konsep Kelsen dalam bukunya :” Introduction
to the Problems of Legal Theory” (Clarendon Press-Oxford, 1996) menyatakan
:
Kemurnian teori tersebut dilindungi
dari dua arah. Kemurnian tersebut dilindungi dari pernyataam-pernyataan dari
sudut pandang sosiologis yang menekankan metode ilmu kausal untuk mengasumsikan
hukum tersebut bagian dari bagian alam. Dan kemurnian teori tersebut dilindungi
dari pernyataan-pernyataan hukum alam, yang menghilangkan teori hukum bidang
norma hukum positif da memasukkannya dalam bidang postulat etika-politik.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan
pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya,
seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul
falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar
falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan Kelsen
dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan
yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara
radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler
menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di
seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih
mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang
mencari keadilan.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan
hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari
norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan
karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan
yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu
analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”.
Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni,
menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan
jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
analis dengan tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan
definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu
mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu
pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang
hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan
untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi
tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat
saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di
atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum
sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut
Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk
mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan
“Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian
itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan,
hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu
ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat
yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu
tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang
kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition)
dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan.
Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya
kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer, 1974:99).
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang
hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena
itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena
dianggapnya irasional.
B.
Implementasi Teori Hans Kalsen
Terhadap Hukum Nasional
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans
Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan
sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum
yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang
mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran
hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari
anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya
hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas
dari das sein / kenyataan sosial.
Dewasa ini, teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap
konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori
hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep
kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan
telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi,
SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh
aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan
tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma
di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh
undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang
yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum
dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks
and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945)
setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang
masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap
lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan
negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks
and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga
negara oleh undang-undang dasar , tidak ada yang tertinggi
dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi
masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada
setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk
politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan
terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan
melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah
Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya
dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
Walaupun di luar kekuatan-kekuatan
politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan
lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang
dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai
kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut
ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan
pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I.
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab.
X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan
Daerah.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata
susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan
fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu
norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi,
yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm
(norma dasar).
Sistem
hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Hal ini tampak dalam rumusan
hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita
temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Hierarki atau tata urutan
peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia (Pasal 7) adalah sebagai
berikut :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sementara itu hukum positif Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas
dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku
dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai
di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya
beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis.
Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh
aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak
boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim
hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum
oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang
tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.
Norma Hukum dan Negara
Menurut
Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi
manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa
yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada
ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen.
Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan
“seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk
mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah
norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan
“seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak
bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan
pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral
yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum
selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan
hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum
lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut.
Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan
presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap
teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak
mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan
merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional.
Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi,
tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu
perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam
atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar.
Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif,
dan sifatnya selalu optional.
Norma hukum umum selalu
memiliki bentuk pernyataan yang hipotetis. Sanksi yang ditentukan oleh norma
ditetapkan untuk kondisi tertentu. Juga suatu norma hukum individual mungkin
memiliki bentuk hukum
ipotesisnya. Suatu keputusan
pengadilan dapat menentukan bahwa dalam hal tergugat tidak melakukan tindakan
yang diputuskan, maka sanksi akan diberikan. Inilah conditional norms
atau hypothetical norm. Unconditional norms atau
categorial norm dapat dilihat pada kasus pengadilan pidana menjatuhkan
hukuman atas delik pembunuhan.
C.
Norma Umum Dibuat
Berdasarkan Konstitusi, Undang-Undang dan Kebiasaan
Norma umum yang ditetapkan
dengan cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah
konstitusi dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ
yang kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana
hukum harus diinstitusikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan
prosedur yang harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma
umum hukum undang-undang atau kebiasaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:
a. menentukan organ pelaksana hukum dan
prosedur yang harus diikuti; dan
b. menentukan tindakan
yudisial dan administratif organ tersebut. Tindakan inilah yang menciptakan norma individual, yaitu
penerapan norma hukum pada kasus nyata.
Pembuatan hukum dengan
kebiasaan dan undang-undang sering disebut sebagai dua sumber hukum. Dalam
konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma
individual yang bagaimanapun merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya. Sumber
hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya
digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi,
tetapi juga untuk mengkarakteristikkan alasan validitas hukum khususnya alasan
paling akhir. Maka norma dasar menjadi sumber hukum. Namun dalam arti yang
lebih luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lain, karena
memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat.
Maka setiap norma hukum yang
lebih tinggi adalah sumber bagi norma hukum yang lebih rendah. Jadi sumber
hukum adalah hukum itu sendiri. Ekspresi sumber hukum pada akhirnya
digunakan juga pada keseluruhan makna yuridis. Juga mungkin mengartikan sumber
hukum sebagai ide-ide yang mempengaruhi organ pembuat hukum, misalnya norma
moral, prinsip politik, doktrin hukum, pendapat ahli hukum, dan lain-lain.
Menurut hukum alam, norma dasar adalah hukum yang seharusnya dengan sifat
absolut. Berbeda dengan sumber hukum menurut teori hukum murni yang telah
diuraikan, sumber ini tidak memiliki kekuatan mengikat karena bukan merupakan
norma hukum. Namun tetap memungkinkan bagi tata hukum mewajibkan organ pembuat
hukum untuk mentransformasi norma-norma tersebut menjadi norma hukum, yang
berarti menjadi sumber hukum.
Perundang-undangan dan teori Hans Kalsen
Kelsen membahas
validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai
validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa
konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya
mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh
individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi
terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan
hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah
konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi
dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.
Teori Hans
kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai
validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang
tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans
Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.
Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.
Teori tangga menggambarkan dasar
berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen:
Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.
Berdasarkan
teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen
dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staats
fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2. Staats grundgesetz: Batang
Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz:
Undang-Undang.
4. Verordnung en
Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.
Semua norma hukum
adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak
kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa
konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang
dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata
aturan hukum ini.
Pengharmonisasian, Pembulatan,
dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundangundangandi Indonesia, sebenarnya
bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudahberjalan atau dilaksanakan
cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan/law
maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
“UUD 1945”).
Kebijakan mengenai harmonisasi
peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun
pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait
harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang
Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupan pengganti Inpres
Nomor 15/1970 tersebut.
Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang
masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap
lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan
negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks
and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh
undang-undang dasar , tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
D. HANS NAWIASKY DAN HANS KALSEN DALAM ANALISIS KEDUDUKAN
PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
Kebijakan pengharmonisasian
berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini
sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 19453. Oleh karena Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung
kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan
melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan
perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan
kebijakan-kebijakan sebelumnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU,
baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu
diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua
rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan
Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Penjelasan UUD 1945 yang
merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokokpokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari UndangUndang Dasar
Negara Indonesia. Pokokpokok pikiran ini mewujudkan citacita hukum
(rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(UndangUndang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. UndangUndang
Dasar menciptakan pokokpokok pikiran ini dalam pasalpasalnya”.
Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat
sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk
(Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap
perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan
tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan
pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain
dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah
negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat.471 Status Pembukaan UUD
1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas
berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan
ditetapkannya perubahan UndangUndang Dasar ini, UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasalpasal.” Jika
Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak
dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai
staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung.
Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan
pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah
presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya
Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya
tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar
keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas
pasal-pasal tersebut. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi
(staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu
keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian
dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat
dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih
rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan
konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi,
maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila,
benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Antara Norma, Logika, dan Teori Dalam Peraturan perUndang-Undangan
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan
hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur
hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik
Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order).
Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan merupakan dasar keberlakuan UUD
1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagai presuposisi validitas tata
hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Keseluruhan Pembukaan UUD
1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara,
dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan
tersebutlah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische
grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945
sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik,
Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia. Jika
masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische
grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari
persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang
selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan
Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh
nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara
Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila Penempatan Pancasila sebagai
Staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.458
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan
bintang pemandu.
Posisi ini mengharuskan
pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta
dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Norma dasar tidak dibuat
dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena
dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid,
dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan
manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut
sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi
validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?.
Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara
staatsfundamentalnorm dengan grundnorm dengan alasan bahwa
grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm
dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi. Pendapat Nawiasky tersebut
sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa
Konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi
berbeda dengan norma hukum biasa.
Selain itu, Kelsen juga
menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi. Kudeta atau
revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh
tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya
presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang
lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan
materi yang sama dengan tata hukum lama.
Dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 telah di jelaskan ideologi dan hirarki peraturan perundang-undangan
di dalam sistem Hukum ketata negaraan indonesia.
Pasal (2) UU No. 12 Tahun 2011 “
pancasila merupakan sumber segala hukum negara”
Pasal (4) UU No. 12 Tahun 2011 “
peraturan perundang-undangan diatur dalam undang-undang ini meliputi
Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya.”
Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber bagi norma
hukum yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri. Ekspresi
sumber hukum pada akhirnya digunakan juga pada keseluruhan makna yuridis.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Teori Kelsen dapat dirumuskan
sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak
mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau
politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori
Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh
pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum
sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu
Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai
kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu
menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang
kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep
yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan
tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.
Kemudian
dalam kaitanya dengan susunan peraturan perUndang-Undangan di indonesia telah
di jelaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU,
baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR dalam hal
Hirarki perUndang-Undangan di indonesia.
Dalam teori
Hans Kalsen menjelaskan tentang Norma hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah
system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau
das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai
suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara.
Jadi
menurut hemat saya teori Hans Kalsen banyak mempengaruhi tatanan peraturan
perundang-undangan di indonesia disebabkan karena teori hukum piramida atau
hirarki perundang-undangan yang memang di pergunakan di indonesia sebagai suatu
sistem hukum.
. Teori hukum tampaknya memegang
teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan
transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian
spesifiknya.
No comments:
Post a Comment