Monday 8 April 2013

PENGARUH TEORI HANS KALSEN TERHADAP SUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA “PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM dan PENGARUH TERHADAP HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan alam.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer, 1974:99).
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.(Scholten, 1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan keanehan.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah Negara sampai pada awal kemerdekaan disusunlah suatu kerangka dasar yakni Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan salah satu Pasal dari UUD 1945 itu yakni Pasal 3 bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum (hasil amandemen).
Oleh karena itu pentinya arti dasar Negara itu maka tidak lama setelah munculnya gerakan kebangkitan nasional dikalangan Bangsa Indonesia muncul pulah benih-benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan dipakai sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara yang akan dimerdekakan.
Hukum dasar atau konstitusi Negara Republik Indonesia adalah karya anak bangsa yang berdaulat untuk menentukan arah bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara olehnya itu dituntut kepada seluruh elemen bangsa ini memiliki dedikasi yang kuat untuk mengisi Kemerdekaan Negara ini dengan tuntunan pancasila dan Undang Undang Dasar tersebut. Roh Bangsa Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang dasar inilah yang melandasi pembentukan segalah bentuk perundang-undangan yang ada, mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Gubernur sampai kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia (UU Nomor 12 Tahun 2011).
Pandangan diatas menggambarkan bahwa menetapkan hukum dasar dari Negara tidaklah mudah seperti yang kita bayangkan namun pertanyaannya adalah bagaimana dengan hukum  nasional yang ada setelah merebut kemerdekaan itu; bagaimana dengan tehnik dan isi dari segala Peraturan Perundang-Undagan yang ada saat ini.

B.     Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut,agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang di inginkan,maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah.Rumusan masalah itu adalah :
1.Apakah pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan perundang-undangan   di Indonesia ?
2.Apakah kaitan antara teori Hans Kalsen “pertanggung jawaban hukum” di dalam penerapan peraturan perundang-undangan di Indonesia  ?
     C.  Tujuan
  Adapun tujuan dari rumusan masalah dalam makalh ini adalah:
1.Untuk mengetahui kaitan pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2.Untuk mengetahui pengaruh teori Hans Kalsen terhadap pertanggung jawaban hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.



      D.   Manfaat
Manfaat yang di dapat dari makalah ini adalah:
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang teori hukum, mahasiswa dapat mengetahui tentang pengaruh teori Hans Kalsen terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dan pertanggung jawaban hukum.   
























                                                                                             
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Hukum Hans Kalsen terhadap Susunan Undang-Undang di Indonesia
A.  Pertanggung Jawaban Hukum
Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang men-jadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli me-nyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demi-kian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya,  adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.
Pernyataan bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. Suatu aturan menetapkan pembunuhan sebagai delik terkait dengan tindakan manusia dengan kematian sebagai hasilnya. Kematian bukan merupakan tindakan, tetapi kondisi fisiologis. Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukan tindakan tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi tertentu. Kondisi tersebut tidak harus berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga berupa suatu kondisi. Namun, kondisi tersebut baru dapat masuk dalam suatu aturan jika terkait dengan tindakan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai akibat. Perbedaan pengaturan apakah suatu perbuatan, suatu kondisi yang dihasilkan, ataukah keduanya memiliki pengaruh terhadap pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut menentukan unsur-unsur suatu delik.
Masalah hukum sebagai ilmu adalah masalah teknik sosial, bukan masalah moral. Tujuan dari suatu sistem hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan cara yang ditentukan oleh aturan hukum.24 Namun pernyataan bahwa “tata aturan masyarakat tertentu yang memiliki karakter hukum adalah suatu tata hukum” tidak memiliki implikasi penilaian moral bahwa tata aturan tersebut baik atau adil.
Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek resposibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility).
Pembedaan terminologis antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap deliquent tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Hubungan tersebut ditentukan oleh aturan hukum. Pertanggungjawaban korporasi terhadap suatu delik yang dilakukan oleh organnya dapat menjadi contoh.
Austin menyatakan bahwa orang terikat dengan keharusan melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah karena hal itu jahat dan orang itu takut akan sanksi. Namun Apakah seseorang bertanggungjawab terhadap suatu sanksi atau tidak tidak bergantung pada apakah dia takut atau tidak terhadap sanksi. Jika benar bahwa seseorang terikat atau diharuskan karena takut pada sanksi, maka seharusnya definisinya berkembang menjadi “to be obliged is to fear the sanction.” Tetapi definisi ini tidak sesuai dengan prinsip teori hukum analisis yang menekankan pada perintah.

Hukum Hans kalsen dan Teori Tegara
Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas, menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya. Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar hukum terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik, disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep hukum tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan dua obyek yang berbeda”[, “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”.
Dilain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara tersebut”, “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”. Oleh karena itu, pendapat Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional”, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.
Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Teori Hukum Murni
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya.
Konsep Kelsen dalam bukunya :” Introduction to the Problems of Legal Theory” (Clarendon Press-Oxford, 1996) menyatakan :
Kemurnian teori tersebut dilindungi dari dua arah. Kemurnian tersebut dilindungi dari pernyataam-pernyataan dari sudut pandang sosiologis yang menekankan metode ilmu kausal untuk mengasumsikan hukum tersebut bagian dari bagian alam. Dan kemurnian teori tersebut dilindungi dari pernyataan-pernyataan hukum alam, yang menghilangkan teori hukum bidang norma hukum positif da memasukkannya dalam bidang postulat etika-politik.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan Kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis dengan tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer, 1974:99).
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional.

B.       Implementasi Teori Hans Kalsen Terhadap Hukum Nasional
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Dewasa ini, teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar , tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
Walaupun di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Hierarki atau tata urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia  (Pasal 7) adalah sebagai berikut :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sementara itu hukum positif Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis.  Bahkan peraturan, perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.
Norma Hukum dan Negara
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
Norma hukum umum selalu memiliki bentuk pernyataan yang hipotetis. Sanksi yang ditentukan oleh norma ditetapkan untuk kondisi tertentu. Juga suatu norma hukum individual mungkin memiliki bentuk hukum
ipotesisnya. Suatu keputusan pengadilan dapat menentukan bahwa dalam hal tergugat tidak melakukan tindakan yang diputuskan, maka sanksi akan diberikan. Inilah conditional norms atau hypothetical norm. Unconditional norms atau categorial norm dapat dilihat pada kasus pengadilan pidana menjatuhkan hukuman atas delik pembunuhan.


C.      Norma Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi, Undang-Undang dan Kebiasaan
Norma umum yang ditetapkan dengan cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah konstitusi dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ yang kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana hukum harus diinstitusikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan prosedur yang harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma umum hukum undang-undang atau kebiasaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:
 a. menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti; dan
 b. menentukan tindakan yudisial dan administratif organ tersebut. Tindakan inilah  yang menciptakan norma individual, yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.

Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan undang-undang sering disebut sebagai dua sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya. Sumber hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi, tetapi juga untuk mengkarakteristikkan alasan validitas hukum khususnya alasan paling akhir. Maka norma dasar menjadi sumber hukum. Namun dalam arti yang lebih luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lain, karena memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat.
Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber bagi norma hukum yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri. Ekspresi sumber hukum pada akhirnya digunakan juga pada keseluruhan makna yuridis. Juga mungkin mengartikan sumber hukum sebagai ide-ide yang mempengaruhi organ pembuat hukum, misalnya norma moral, prinsip politik, doktrin hukum, pendapat ahli hukum, dan lain-lain. Menurut hukum alam, norma dasar adalah hukum yang seharusnya dengan sifat absolut. Berbeda dengan sumber hukum menurut teori hukum murni yang telah diuraikan, sumber ini tidak memiliki kekuatan mengikat karena bukan merupakan norma hukum. Namun tetap memungkinkan bagi tata hukum mewajibkan organ pembuat hukum untuk mentransformasi norma-norma tersebut menjadi norma hukum, yang berarti menjadi sumber hukum.

Perundang-undangan dan teori Hans Kalsen
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1.      Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.
Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.          Staats fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.        Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi    Ketatanegaraan.
3.          Formell gesetz: Undang-Undang.
4.          Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundangundangandi Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudahberjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan/law maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar , tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
D.      HANS NAWIASKY DAN HANS KALSEN DALAM ANALISIS KEDUDUKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 19453. Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan kebijakan-kebijakan sebelumnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok­pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang­Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok­pokok pikiran ini mewujudkan cita­cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang­Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang­Undang Dasar menciptakan pokok­pokok pikiran ini dalam pasal­pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat.471 Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang­Undang Dasar ini, Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal­pasal.” Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945.
 Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.

Antara Norma, Logika, dan Teori Dalam Peraturan perUndang-Undangan
Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan merupakan dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagai presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebutlah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia. Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.458 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu.
Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamentalnorm dengan grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi. Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa Konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.
Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan  jika terjadi kudeta atau revolusi. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 telah di jelaskan ideologi dan hirarki peraturan perundang-undangan di dalam sistem Hukum ketata negaraan indonesia.
Pasal (2) UU No. 12 Tahun 2011 “ pancasila merupakan sumber segala hukum negara”
Pasal (4) UU No. 12 Tahun 2011 “ peraturan perundang-undangan diatur dalam undang-undang ini meliputi Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya.”
Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber bagi norma hukum yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri. Ekspresi sumber hukum pada akhirnya digunakan juga pada keseluruhan makna yuridis.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.
Kemudian dalam kaitanya dengan susunan peraturan perUndang-Undangan di indonesia telah di jelaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR dalam hal Hirarki perUndang-Undangan di indonesia.
Dalam teori Hans Kalsen menjelaskan tentang Norma hukum  Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara.
Jadi menurut hemat saya teori Hans Kalsen banyak mempengaruhi tatanan peraturan perundang-undangan di indonesia disebabkan karena teori hukum piramida atau hirarki perundang-undangan yang memang di pergunakan di indonesia sebagai suatu sistem hukum.
. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya.

No comments: