Sunday 7 July 2013

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008


                    PENDAHULUAN
A.    Malqashid al-syari’ah
Secara bahasa maqasid al-syariah terdiri dari dua kata yakni maqasid dan al-syar’iyah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqshad yang berarti tujuan (goal).  Syar’iyah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan. Maqasid al-syariah menurut al-Fasi yakni tujuan syariah dan rahasia-rahasia dibalik penetapan hukum oleh Allah. Maksudnya disini adalah tujuan-tujuan umum (maqasid al-ammah).
Sedangkan rahasia hukum adalah maqasid al-khassah atau al-juz’iyah (tujuan khusus dari penetapan suatu hukum). Tujuan umum syariah menurut al-Fasi yakni membangun dunia, menjaga sistem kehidupan dan keutuhannya sesuai dengan kebutuhan manusia serta melaksanakan apa yang ditugaskan kepada mereka seperti berbuat adil, keselamatan akal, pekerjaan, mendistribusikan kekayaan dan lainnya.
Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan tujuan umum dalam syariah yakni makna dan hikmah yang disimpulkan dari semua atau sebagaian situasi penetapan hukum yang tidak hanya dapat disimpulkan dalam bentuk khusus dari hukum-hukum syariah. Ibnu ‘Asyur selanjutnya menjelaskan bahwa al-maqasid al-ammah antara lain meliputi perlindungan terhadap aturan, menarik kemaslahatan, mencegah kerusakan, menegakkan kebersamaan antara umat beragama, menjadikan umat lebih berdaya dalam bidang ekonomi dan lainnya. Sedangkan al-mawasid al-khassah meliputi cara-cara legal untuk mewujudkan kemaslahatan umat, atau memelihara kemaslahatan umum dalam interaksi khusus. Termasuk didalamnya semua hikmah penetapan berbagai hukum dalam transaksi ekonomi.
Terkait dengan hal ini, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk, yakni ijtihadistinbati dan ijtihad tatbiqi. Dalam kajian al-maqasid ijtihad istinbati dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolak ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu permasalahan yang konkrit, diperlukan suatu bentuk ijtihad lain, yakni ijtihad tatbiqi atau disebut juga dengan tahqiq al-manat (ilat). Ijtihad seperti inilah yang berperan penting dalam mengantisipasi perubahan sosial disepanjang zaman dan tempat.
 Selanjutnya, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan al-maqasid. Kata-kata itu ialahmaqasid al-syariah, al-maqasid al-syar’iyyah, dan maqasid min syar’I al-hukm. Meskipun demikian menurut Asafri, walau dengan kata-kata yang berbeda mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Apabila ditelaah pernyataan al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan al-maqasid atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.
Dalam diskursus pengembangan ekonomi Islam terdapat kajian yang menarik menyangkut kemaslahatan, karena ia erat terkait dengan jurisprudensi Islam (ushul fiqh). Pengayaan menyangkut kemaslahatan ini juga erat terkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan dalam sistem perekonomian yang islami yakni terwujudnya al-maqasid.
Menurut Asmuni setelah menguraikan tiga pengertian kata maqshad yang dikehendaki al-Syatibi, maka dalam ilmu al-maqashid yang diuraikan al-Syatibi mengandung tiga teori ushul al-fiqh. Pertama, teori al-maqshudat yang membahas makna-makna semantikal (al-madamin ad-dalaliyah) dalam al-Quran dan Sunnah (al-khitab asy-Syar'i)Kedua, teori al-qushud membahas tentang perasaan emosional atau kemauan dan keinginan (al-madamin asy-syu'uriyah atau al-iradiyah). Dan ketiga, teori al-maqashid yang membahas tentang pesan-pesan nilai dan moral di dalam al-Qur'an dan Sunnah (al-madamin al-qimah li al-khitab asy-syar'i).
Dalam studinya, al-Raisuni mengemukakan bahwa al-maqasid Syatibi berdiri atas dua asas: pertama, kausasai atau enumerasi syari’ah (ta’lil) dengan menarik maslahat dan menolak mafsadah. Kedua, al-maqasid sebagai produk induksi menjadi dasar ijtihad terhadap kasus-kasus yang belum tersentuh oleh nash dan qiyas.
Dalam aspek ekonomi, solusi dari semua permasalahan sosial ekonomi pasti diinginkan oleh semua sistem ekonomi, baik itu sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan sistem ekonomi Islam. Kita dapat menjawab, tentunya jalan masing-masing dari ketiga sistem itu akan berbeda satu dengan yang lain, pertanyaan selanjutnya yakni sejauh manakah konsistensi dan efektivitas dari masing-masing sistem ekonomi tersebut berjalan? Jika itu sistem kapitalis, seberapa besar konsistensi sistem ini memperjuangkan sistem ekonomi berkeadilan jika disatu sisi kita melihat adanya mekanisme yang menjembatani terbentuknya sistem konglomerasi dan monopoli dalam segelintir orang yang bermodal? Jika ia sistem sosialis, seberapa efektivitaskah sistem ini menuju perekonomian yang sejahtera? Jika disatu sisi kita masih merasakan terkekangnya jiwa enterpreneuship?
Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.

B.     UNDANG-UNDANG  21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN DAN TEORI MAQASID AL-SYARI’AH
Sejak berdiri pada tahun 1992, perbankan syariah terus berkembang Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran regulasi. Sebagai bagian dari industri perbankan, perbankan syariah memiliki sifat khusus, pertama; sebagai penggerak perekonomian, kedua; industri perbankan bertumpu pada kepercayaan (trus) masyarakat, sehingga membutuhkan kepastian hukum. Penelitian ini mendeskripsikan peranan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap pertumbuhan bisnis perbankan syariah. Setalah disahkan hingga Maret 2010. sistem perbankan syari’ah yang menerapkan pola pembiayaan usaha dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu usaha pokok dalam kegiatan perbankan syari’ah juga akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada masing-masing pihak, baik bank maupun debiturnya akan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha. Dan di jelaskan pula dalam teori Maqasid Al-Syari’ah dalam kaitanya dengan kesejatraan masyarakat, perbangkan dan pemerintah.

Teori Maqasid Al-Syari’ah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat didalam Alquran adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut maka akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia dan akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah, bila menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan pengertian prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan tentang fungsi disahkannya peraturan perbankan yang berdasarkan prinsip syariah.
Kalau kita mencermati isi Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Perbankan yang diubah, maka telah dan membatasi kegiatan usaha bank, yakni: pertama, mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank; kedua, kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat; dan ketiga, bank umum dapatmengkhususkan untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank Umum lebih luas dari pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh Bank Perkreditan Rakyat, karena ada kegiatan bank umum yang dilarang untuk dilakukan pada Bank Perkreditan Rakyat. Bagi bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiataan usahanya.
Karena sifat yang berdasarkan syariah, maka produk-produk syariah bank konvensional, yaitu diantaranya bank maupun nasabah tidak diperkenankan menerima bunga bank. Akan tetapi, jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang dibagi di antara bank dengan pihak nasabah. Selain itu, produk-produ dari bank syariah harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang melarang riba. Beberapa produk syariah memang ada counterpart-nya dalam prodik bank umum, sementara yang lainnyaterasa asing sama seali. Bahkan, beberapa prinsip dalam perbankan konvensional terpaksa dilarang dan ini memang merupakan konsekunsi dari pengakuan terhadap eksistensi bank syariah itu sendiri. Di antara prinsip hukum perbankan yang dilanggar oleh bank syariah adalah menjadi pemegang saham pada perusahaan lain yang dibiayainya sendiri menjadi pembeli barang modal barang atau perdaganagn untuk perusahaan atau orang lain Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menentukan bahwa: “Usaha bank umum dalam menyediakan pembiayaan dan/atau melalukan kegiatan usaha lain berdasarkan prinsip syariah ditetapkan dengan ketentuan Bank Indonesia.“ Berdasarkan ketentuan di atas, kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan Bank Umum dengan menerapkan prinsip syariah, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR. Dikatakan Bank Umum Syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
·         Giro berdasarkan prinsip wadiah;
·         Tabungan bedasarkan prinsip wadiah atau mudharabah;
·         Deposito berdasarkan prinsip mudharabah; atau
·         Bentuk lain berdasarkan wadiah atau mudharabah.

2. Melakukan penyaluran dana melalui:
  a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
·         murabah;
·         istisnah;
·         ijarah;
·         salam;
·         jual beli lainnya.
b. Pembiyaan bagi hasil berdasarkan prinsip:
·      mudharabah;
·      musyarakah;
·      bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip:
·         hiwalah;
·         rahn;
·         qardh.
3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlyimng transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah;
4. Membeli surat-surat berharga Pemerintah dan/atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah;
5. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasrkan prinsip wakalah;
6. Menerima pembayaran tagihan atas surat surat yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah;
7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadiyah yad amanah;
8.  Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain  berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah;
9.  Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah laian dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dibursa efek berdasarkan prinsip ujr;
10. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudharabah, musyarakah dan wadiah serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah;
11.  Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujr;
12.  Melakukan kegiatan wali amanat berdsarkan prinsip wakalah;
13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, bank Umum Syariah dapat pula:
1.    Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdsarkan prinsip sharat,
2. Melakukan kegiatan pernyataan modal berdsarkan prinsip musyarakah dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali pernyatannya; dan
3. Melakukan kegiatan pernyataan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat
4.   Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus.
Lahirnya Perbankan di Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan mengakomodir umat Islam harus didukung dan dipertahankan. Namun dalam pelaksanannya harus diawasi dengan ketat oleh Dewan Pengawas Syari’ah. Sehingga kelahiran perbankan syari’ah tersebut sesuai dengan tujuannya.
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam  adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
Perbankan Syari’ah Indonesia yang secara filosofis keberadaannya dengan menggunakan konsep Muamalah Mudharabah sebagai dasar dan implementasinya maka harus benar-benar dimamfaatkan umat Islam secara utuh dalam rangka meningkatkan keimanan kepada Allah, RasulNya dan Kitab Al Aquran’an dan Hadist. Sehingga umat Islam tidak terjerumus pada perbuatan riba yang sangat di larang Allah SWT.

No comments: