Hukum
adat adalah
sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Hukum
adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Hukum Adat dikemukakan pertama
kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje
seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal
istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje
dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia
yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven,
seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru
Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia
memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van
Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia
Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische
Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam
Undang Undang Dasar Hindia
Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia,
istilah hukum adat
tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma
mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan
demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka
mengkaji hukum
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal
juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia
sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem
hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis
Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat
Minangkabau
telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia
dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe,
S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah
dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang
bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh
Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2]
Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa
buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu
nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi
Indonesia
menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang
garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring.
Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang
disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).
Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
- Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
- Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
- Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
- Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
- Nias (Nias Selatan)
- Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
- Mentawai (Orang Pagai)
- Sumatera Selatan
- Bengkulu (Renjang)
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
- Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Batin dan Penghulu)
- Enggano
- Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
- Bangka dan Belitung
- kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
- Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
- Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
- Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Tolaki, Muna)
- Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
- Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
- Irian
- Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
- Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
- Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
- Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
- Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)[10]
No comments:
Post a Comment