Tuesday 21 October 2014

Kebijakan Publik Bidang Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. 
Hal tersebut diatas disebabkan beberapa persoalan. Pertama adalah bahwa pendidikan di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Karena pendidikan yang diberikan belum seimbang. antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi, kedua, sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, ketiga, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada manusia yang dihasilkan, pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan tidak  bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (wujud dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi, hal ini menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi dan budaya situasi masyarakat lain. Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat toleran untuk direnungkan.
Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi belum memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena kualitas penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan belum memadai. Dewasa ini pendidikan nasional kurang menjanjikan, hal ini dikerenakan kebijakan pendidikan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan fatal terhadap pembinaan generasi mudah dan nasib negara / bangsa Indonesia. Dunia dewasa ini IPTEK berkembang dengan sangat pesat, yang perlu diikuti oleh strategi pendidikan nasional yang tepat pula agar dapat terbina sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas sehingga dapat mempertahankan diri dari arus perubahan global. Pemahaman mengenai kebijakan pendidikan dan kebijakan publik sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakat Indonesia modern. Armada tenaga profesional pendidik yang sangat besar dapat membentuk kelompok intelektual organis yang maha dahsyat kekuatannya sebagai agen perubahan masyarakat Indonesia abad XXI.
Dalam konteks apapun, pendidikan merupakan sebuah basis vital. Ketika pendidikan sudah tidak lagi mampu memberi input positif maka semuanya akan hancur. Oleh karena itu, tanpa harus berargumen, pernyataan pendidikan harus mendapat perhatian khusus perlu menjadi kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, pendidikan yang mendapat tanggung jawab besar atas keberlangsungan suatu peradaban manusia, perlu menetapkan kebijakan-kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan seksama.
Berbicara mengenai kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan keadaan politik. Keterkaitan pendidikan dan politik yang ada pada suatu negara hampir sulit untuk dipisahkan, karena pendidikan mempunyai peran yang besar terhadap negara melalui lembaga pendidikan untuk mendidik warga negara agar dapat berguna dan berhasil bagi negara tersebut.
 Dalam realita, di dunia ini tak ada negara yang tak turut campur atas pendidikan warga negaranya, maka di dunia pendidikan juga ada potensi-potensi konfliknya, terutama yang berkaitan dengan upaya menjembatani antara kepentingan masyarakat dan pemerintah. Karena masyarakat bertekat mewariskan kepentingan-kepentingannya sendiri kepada generasinya, sementara pemerintah juga berkepentingan dengan mendidik warga negara yang baik menurut paham pemerintah, maka tak mustahil antara mesyarakat dan pemerintah berlawanan. Tawar-menawar antara banyaknya kepentingan lembaga- lembaga, masyarakat, politik yang mesti dimasukkan ke dalam kurikulum adalah salah satu wujud dari sekian banyak terjadinya konflik kepentingan antara keduanya. Kerena itu dibutuhkan pengaturan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Analisis Kebijakan Pendidikan 

Berbagai corak para ahli dalam menginterpresasikan konsep analisis kebijakan, salah satunya Duncan macrae ia mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya masalah publik. Analisis kebijakan sebagai cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan masalah kebijakan.
 Menurut penelaah sektor pendidikan analisis kebijakan pendidikan adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Dunn membagi analisis kebijakan menjadi dua dimensi yang besar pertama dimensi rasional dan kedua dimensi politik yaitu suatu proses penentuan kebijakan melalui suatu perjuangan politik dari beberapa kelompok kepentingan yang berbeda- beda. Sedangkan menurut Patton dan sawacki ialah suatu reaksi antara pembuat keputusan dengan para pemikir atau analisis dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan yang terjadi secara berkelanjutan pula, dengan demikian yang dimaksud analisis kebijakan yang di kemukakan adalah suatu proses pengelolaan pemecahan masalah.

Sebelum lebih jauh membahas kebijakan pendidikan, terlebih dahulu penulis menjelaskan kebijakan public. Secara etimologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy dalam bahasa inggris. Dalam bahasa latin politia yang berarti Negara, polis disebut dalam bahasa yunani yang berarti kota dan kata pur dalam bahasa Sanskrit berarti kota serta police dalam bahasa inggris berarti adminisrasi pemerintah. Berdasarkan asal kata ini menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang ini dikenal dengan politic, policy, polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintah  the art and science of government, sedangkan policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan police berarti hal-hal yang berkernaan dengan pemerintahan adapun kebijakan pendidikan terjemahan dari educational policy.  Maka sebuah kebijakan merupakan putusan seorang pemimpin atau yang mempunyai wewenang dalam sebuah lembaga.
Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah yang dengan kewenangannya dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kebijakan publik adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para menajer dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.
Maka dapat di katakan bahwasannya kebijakan publik di pandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan, dari sini dapat kita lihat bahwa lembaga-lembaga pemerintahan atau aktor yang legitimasi dalam mengeluarkan serangkaian intruksi kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk tercapainya tujuan. Sebuah kebijakan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya melainkan adanya perencanaan dari sebuah fenomena–fenomena dan masalah yang muncul secara publik yang menjadi petunjuk arah bagi pelaksana kebijakan agar tujuan dari solusi permasalahan dapat terimplementasikan sehingga tercapainya tujuan yang di inginkan.
Berbicara pendidikan tentunya yang terbayangkan secara global seluruh kegiatan pembelajaran baik dengan guru maupun dengan lingkungan dan pengalaman, baik bersifat formal, non formal maupun informal jika menyelam khusus maka tergambar dalam pendidikan ialah sebuah proses pembelajaran yang didalamnya terdiri dari lembaga-lembaga, guru, siswa materi tempat bertemunya guru dan siswa dll.

Pendidikan adalah aktivitas atau upaya yang sadar dan terencana, dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual, maupun mental dan social. Pendidikan merupakan :
a)  usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi jasmani dan rohani yang sifatnya indrawi dan keterampilan tertentu, dan rohaninya yang berkaitan dengan olah pikir, olah rasa, karsa, cipta, dan perilaku etika atau budi/susila,
 b) Institusi yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita dan tujuan pendidikan, system dan organisasi pendidikan, baik pendidikan dalam lembaga keluarga, masyarakat, sekolah dan Negara,
c) Berkaitan dengan hasil yang dicapai dalam pendidikan dan mampu meningkatkan kebudayaan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana masyarakat lebih dewasa berfikir, lebih teknologis dalam menjalani kehidupan, dan rasional, efektif, efesien dalam melakukan berbagai jenis obyek kerja.
Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik di bidang pendidikan, kebijakan publik berkenaan dengan segala kebijakan yang di ambil oleh pemerintah seperti kebijakan ekonomi, kebijakan hukum, kebijakan agama dan lainnya yang menyangkut dengan problem warga negara.
Maka berbicara  kebijakan pendidikan sama halnya dengan kebijakan publik namun mengkhususkan pada bidang pendidikan yang merupakan gabungan kata policy education. Kebijakan pendidikan pada hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. 
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa kebijakan pendidikan ialah seperangkat ketetapan, peraturan yang di usung pemerintah berdasarkan permasalahan yang timbul di bidang pendidikan yang dimulai dengan perumusan, penetapan, implementasi hingga pada evaluasi  terhadap sistem pendidikan guna tercapainya tujuan pendidikan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh Ujian Nasional yang menjadi alat ukur yang di terapkan oleh pemerintah dalam menilai kualitas pendidikan yang menghasilkan pengaruh dan berdampak pada sistem pendidikan ini merupakan sebuah terobosan kebijakan pendidikan sebagai usaha mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas walaupun terdapat pro dan kontra disaat implementasi berlangsung. 

B.  Dinamika Politik  Dalam Kebijakan Pendidikan

Carut marutnya pendidikan kita tidak terlepas dari campur tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada. Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Hidup adalah masalah, begitulah persepsi kebanyakan orang, masalah terbagi dua bagian pertama masalah pribadi yaitu masalah yang hanya dialami oleh satu orang dan orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang muncul dan masalah kelompok, kedua golongan atau masalah publik yaitu suatu masalah yang menyerap perhatian khalayak ramai yang mempunyai tujuan yang sama hingga pada pelaksanaanya. Maka masalah pendidikan yang merupakan bagian dari masalah publik, ini dapat dikatakan masalah prosuderal dengan regulasi, yang dapat menyedot perhatian publik. Dengan otomatis politik bermain di dalamnya, namun tidak semua masalah yang muncul menjadi masalah namun pada sekelompok golongan atau seseorang menjadi sebuah keuntungan terhadap masalah yang muncul.     
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Politik pendidikan adalah suatu pendekatan atau metode yang didasarkan kepada kebudayaan nasional untuk mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Politik pendidikan yang menjadi panduan dalam perjalanan pendidikan nasional, dengan adanya politik pendidikan maka akan terbentuk konsep yang tepat, kuat,dan kokoh. Yang nantinya diharapkan pendidikan mampu melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun sosial.   
Selama ini pendidikan, jarang digunakan sebagai instrumen politik dalam menentukan arah dan bentuk masa depan. Pendidikan lebih banyak menjadi korban politik dan bukan katalis politik dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan. Implikasi nyata dari kesadaran ini, yaitu perlunya pemberdayaan pendidikan sebagai bagian penting dari proses politik di Indonesia, khususnya politik karakter bangsa bagi pembangunan negara yang absolut. Pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun karakter bangsa dan pembangkitan kesadaran atau nasionalisme bangsa. Sayangnya, kita belum mampu merumuskan dan atau menggunakan pendidikan sebagai katalis pembangunan, atau pendidikan sebagai instrumen politik kebangsaan.  Politik pendidikan adalah sektor penting bagi masa depan Indonesia. Sebab, dengan politik pendidikan ini, Indonesia bisa menentukan potret hari esok dari saat ini
Setiap kesuksesan suatu negara dilandasi oleh pendidikan yang kokoh. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun agama dilandasi oleh suksesnya pendidikan. Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik yang sehat dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.

Negara-negara berkembang, pendidikan formal memiliki peran yang penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik dan dalam proses regenerasi pemimpin elite politik baru. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas, dan praktik sehari-harinya. Pendidikan merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah.
Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Adapun kasus –kasus yang muncul terhadap pendidikan sangat beragam namun yang akan di ungkapkan hanya beberapa saja yang menjadi perwakilan dari kasus –kasus yang ada yaitu:
a.         Kaum Miskin Bersekolah, sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan yang mahal dan fovorit hanya untuk anak-anak kalangan elit saja yang mampu bersaing dalam merebut kursi. Ironisnya mayoritas penduduk Indonesia miskin dengan demikian tidak ada tempat bagi kaum miskin. Ini disebabkan karena pendidikan yang sangat mahal hingga pada setiap akhir tahun ajaran baru orang tua berduyun-duyun menuju pegadaian untuk memenuhi biaya sekolah anaknya yang bermutu. Jika pada kaum miskin sangat menyedihkan pendidikan hanya sekedar didapat agar bisa membaca, menulis dan berhitung sedangkan bagi mereka yang mempunyai modal dan kekuasan akan memperoleh pendidikan yang bermutu.
b.        Ironi Pendidikan Sebagai Ladang Bisnis. Orientasi sistem pendidikan nasional tidak jelas, selain terlalu menegara, juga ada tujuan dan fungsi yang dikaburkan, ketidak jelasan ini membuat orientasi sekolah hanya untuk proyek investasi. Inilah yang membuat sekolah menjadi alat untuk mencari posisi daan kedudukan belaka, demi ini proses untuk membawa siswa pada kesadaran akan kedewasaan tidak lagi menjadi orientasi mendasar yang penting adalah yang terlihat di permukaan. Fenomena ini membuat sekolah menjadi mahal karena dunia pendidikan sudah menjadi ladang bisnis, bisnis pendidikan sangat menjanjikan bagi bangsa yang gila gelar. Karena itu jangan heran jika kualitas pendidikan hanya di jadikan topeng semata, kualitas pendidikan hanya di kompromikan dengan selera pasar, ironinya sekolah bukan tempat menjadikan anak yang berintelektual melainkan sebagai alat peroleh status sosial. Orang tua akan bangga jika anaknya diterima di sekolah yang favorit dan mahal meskipun bagi sang anak menjadi beban, yang penting gengsi orang tua akan naik tanpa memperhatikan kemampuan anaknya. Pendidikan hanya berusaha beagaiamana membekali siswa dengan rumusan-rumusan teori saja siswa bukan diajak untuk berproses menjadi manusia. Jika pendididkan lantas terjerumus kedalam dunia bisnis maka akan berlaku siapa yang mempunyai uang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya anak miskin tidak terperhatikan, anak miskin tidak pernah di pertimbangkan untuk mendapatkan sekolah bermutu, bahkan tidak mendapat pendidikan dan sepertinya anak miskin sudah distigmatisasikan sebagai orang yang di buang dari sturuktur masyarakat.
c.         Komersialisasi dan keprihatinan kritikus pendidikan. Pendidikan sebagai barang dagangan sudah menjadi keprihatianan pemikir-pemikir terdahulu seperti Ivan Illich, paulo Freire, margareth Mead, Nicholas Abercromble, immanuel Wallerstein, Louis Althusser, Pierre Bourdieu dll, mereka telah mengingatkan bahwa lembaga pendidikan bukanlah media untuk memberikan distribusi yang adil terhadap penyaluran pengetahuan informasi bagi semua pihak pendidikan bukan hanya untuk dimonopoli oleh yang bermodal. Sistem pendidikan modern telah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hidup mandiri, ini berdasarkan ungkapan Romo Wahono menurutnya sistem pendidikan diIndonesia berpola model pendidikan anjing, model ini bersifat hafalan, kepada tuhan, sistem komando, subordinasi dan sistem militerisik, siswa bukan di jadikan subjek yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan guru. Seharusnya pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan modal dan subordinasi kekuasaan, dinegara kita pendidikan lepas dari realitas kehidupan hingga lulusan sekolah tidak mampu berinovasi dan berkreasi karena pendidikan hanya sekedar memperoleh ijazah dan gelar bukan proses pemerdekaan yang membawa pada pencerahan.
d.        Pendidikan gratis hanya sebagai Komoditas politik, melihat keadaan bangsa Indonesia sangat menyedihkan kenapa tidak, pendidikan merupakan sarana yang sangat bermutu bagi elit politik untuk menyukseskan tujuan politiknya, lihat saja pada setiap pemilihan presiden, legislatif, gubernur, hingga wallikota sekalipun semua meneriakkan janji politik dengan pendidikan gratis, sudah menjadi tradisi penguasa dalam berjanji dan tidak maksimal dalam menepati, tidak terkecuali, berbeda halnya dengan negara diluar Indonesia masyarakat melakukan pengawasan terhadap semua janji politik jika dalam durasi waktu tiga bulan tidak terealisasi, maka masyarakat menuntutnya. Rakyat Indonesia seolah-olah melupakan janji para elit politik maka kita harus mengingat bahwa rakyat kita bukan pelupa dengan janji palsu merangkai menggunakan kemanisan lidah. Lebih memilukan dimana perhatian pemerintah kepada rakyat miskin. Jangankan memenuhi kebutuhan sekolah untuk makan saja mereka tidak mempunyai uang.       
Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi pekerti luhur, manusia yang berperasaan dan menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai, pendidikan memperlakukan manusia sebagai manusia tidak peduli berasal dari keluarga kaya atau keluarga miskin, sebab pendidikan merupakan wilayah netral yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas, pendidikan bersifat objektif, rendahnya kualitas pendidikan secara otomatis berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Dalam teori system social, politik dan pendidikan berada dalam satu system yang saling berhubungan dekat. Apalagi dari kiprahnya, para pendidik selalu memelihara politik karena proses pendidikan yang memberikan sumber nilai dan memberikan kontribusi terhadap politik. Pendidikan memberikan kontrisbusi yang sangat siknifikan terhadap politik teruama stabiliasi dan transformasi system politik.
 Indonesia belum mampu memproses manusia yang merdeka dari sikap dan sifat minder, warga negara yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cendrung menjilat keatas dan menginjak ke bawah yang tidak setia kepada kawan yang mudah menghianati dan menjualnya yang enak dan mudah membunuh nama baik dari sini timbul watak yang tidak membela kepada kebenaran. Perlu adanya revolusi pendidikan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis yakni hanya mengejar-ngejar pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusia dengan mengabaikan hal ini pendidikan hanya mentranfer ilmu saja. Disini muncul krisis kepemimpinan. Instrumen yang di pimpin ialah manusia sistem politik yang berjalan tentunya bersifat otoriter.
Pada proses pendidikan, guru merupakan objek pelaksana pembangunan pendidikan yang dituntut mampu dalam metodelogi pengajaran dan penguasaan subtansi belajar mengajar, guru dimanfaatkan oleh sistem negara yang menatar berbagai proyek untuk berbagai mata pelajaran secara sentral dan terorganisasi oleh birokrasi dengan rapi namun nasib guru tidak pernah di perhatikan sebagai kesatuan pribadi yang mandiri, bahagia dan merdeka dalam proses pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional, jadi guru merupakan alat atau insrumen negara bukan milik atau bagian dari masyarakat dalam mendidik dan mendewasakan anak-anak. Disamping itu evaluasi pendidikan dijadikan alat legitimasi kekuasaan birokrasi pendidikan di tingkat pusat, alat evaluasi dilakukan secara terpusat pada standar nasional, bentuk soal multipe choice dan kelompok siswa yang berhasil cendrung kelompok sekolah yang berada di pulau Jawa, di pusat kota-kota yang berbeda dengan kelompok siswa yang berada di pedesaan. Ini sangat tidak adil, tidak hanya itu kurikulum pendidikan tampak condong menempatkan praktik pendidikan sebagai intrumen belaka. Pendiddikan ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan ini semua karena pendidikan sebagai alat legitimasi politik.
      
Secara teoritik, proses pemecahan atas masalah pendidikan melalui kebijakan dapat dilaksanakan secara sistematik pragmatik, namun secara empiris sering kali berjalan kurang efektif. Efektivitas kebijkan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya mengendalikan perilaku birokrasi yang diinginkan bangsa Indonesia, kurang dapat berjalan, yang disebabkan oleh tidak adanya unsur masyarakat saat kebijakan hendak diakomodasikan menjadi sebuah program.
Anggaran pendidikan 20%, merupakan produk politik. Namun, keberlakuan UU ini sangat dipengaruhi political will dari elite politik sendiri. Pejabat publik yang memiliki kepentingan politik sektoral yang lebih besar, akan bersikap berbeda dengan pejabat publik yang memiliki kepedulian terhadap kualitas SDM Indonesia masa kini dan masa depan. Keberlanjutan dan kelancaran program pembangunan di Indonesia saat ini, sangat dipengaruhi kepentingan-kepentingan politik. Bahkan, bukan hanya dalam aspek anggaran mulai dari kurikulum, proses, pembenahan sarana pendidikan, dan evaluasi pembelajaran penentuan kelulusan, didalamnya semua yang bermain politik.
Dengan demikian, maka makin jelaslah bahwa pendidikan bisa dipengaruhi oleh dinamika politik, dan atau sebaliknya dinamika politik dipengaruhi oleh masalah pendidikan . Kekuatan politik, ekonomi, sosial, budaya menjadi landasan kelas penguasa dalam menentukan arah tujuan pendidikan. Perlu adanya dorongan atau pengawalan yang dilakukan kaum sipil terhadap kebijakan penguasa, agar tujuan pendidikan tetap pada hakikatnya, yakni  memanusiakan manusia tanpa mengekang hak-hak nya sebagai individu seutuhnya.
Banyak para pakar mencemaskan pendidikan nasional dewasa ini, merupakan subordinasi dari kekuatan – kekuatan politik praktis. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik. Pendidikan bukan lagi bertujuan untuk membangun manusia seutuhnya, melainkan untuk membangun kekuatan partai polotik tertentu untuk kepentingan golongan ataupun kelompoknya sendiri. Dalam pandangan ini politik ditentukan oleh dua paradigma, yaitu paradigm teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyamanan hidup manusia. Sedangkan paradigma ekonomi menekankan kepada pencapaian kehidupan modern  dalam arti pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material yang duniawi, tetapi mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan yang bukan materialis duniawi.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka karena banyaknya kepentingan pribadi politik yang di prioritaskan menyebabkan pendidikan di indonesia makin merosot karena kepentingan golongan di abaikan kebijakan yang di buat hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem pemerintahan tanpa bertindak tegas atas mafia pelaksana sistem di tingkat elit politik, disamping itu seluruh aktor perumus kebijakan yang secara tidak langsung menjadi bagian dari pemeran politik juga mempunyai andil atas implemenasi pendidikan yang ada saat ini sakit.

C.  Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Hakikat Pendidikan

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, yang memiliki unsur Jiwa dan raga yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Manusia tanpa jiwa berarti mati, dan yang jiwanya labil berarti Schizophrenia (sakit jiwa;sakit), dan raga hanyalah bungkus yang tiada daya upaya kalau tidak diberi jiwa oleh Allah. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah akal untuk “berpikir” dengan berpikir manusia memimiliki kesadaran (conciousness) yang dijadikan modal moral (makhluk lain tidak punya tujuan moral). Menurut Nursid oleh karena manusia maklhluk yang berpikir maka manusia memiliki sejumlah kemampuan (a) membaca (b) melihat (c) berkomunikasi (d) menjelajajah (e) belajar.
Menjelajah, melakukan penelitian, berpikir alternatif, berfilsafat dan belajar karena manusia memiliki curioscity atau keingintahuan yang lebih dibandingkan makhluk lainnya. Manusia sebagai makhluk yang senang belajar, bagi yang menyadari hakikat ”kemanusiaannya” karena diciptakan Allah maka sebaiknya mempunyai rasa pengabdian kepada Allah dengan jalan beriman dan bertaqwa, menjalan perintah Allah dan menjauhi segala larangannnya. Bagi umat muslim tujuan itu adalah menjadi manusia Qur’ani, melaksanakan kitabulllah pedoman tertulis yang Maha Besar, dan juga melaksanakan sunnatullah. Melalui agama manusia sebenarnya diajak berpikir pula karena agama bersifat knowing (misalnya: mengetahui tentang shalat), doing (melakukan shalat secara baik dan benar), being (mengaplikasi shalat dalam kehidupan sehari-hari dengan beramal shaleh). Jadi iman dan taqwa (seperti dalam UUD Pendidikan Nasional) adalah jatidiri pendidikan yang harus disikapi dan dicapai oleh insan pendidikan.
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :



1.   Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
2.   Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
3.   Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4.   Pendidikan berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.

Hakekat pendidikan tergantung kepada pandangan tentang hakekat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para tokoh. Pertama Ki Hajar Dewantara, menurutnya, manusia itu pada dasarnya merupakan mahkluk yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas eksistensinya, kedua Romo Mangun, dia memandang manusia sebagai mahkluk kreatif yang dianugrahi oleh Allah dengan kebebasan berfikir untuk menentukan tempatnya sendiri di dunia ini, ketiga pandangan manusia menurut Poulo Freire, menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas namun dipenjara dalam berbagai kehidupan social sehingga manusia itu kehilangan kesadarannya untuk kreatif dan mengembangkan kemanusiaanya, keempat menurut Amartya Sen, manusia menurutnya, mempunyai berbagai kemampuan yang dapat dikembangkan apabila dia mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya.
Dari pendapat para pemikir tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pandangan tentang manusia sangat berkaitan erat dengan proses pendidikan. Dimana proses manusia untuk mewujudkan kemerdekaan diperlukan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pribadi yang merdeka. Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan meliputi unsur-unsur sebagai berikut : Dalam lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.


D.  Perumusan masalah kebijakan pendidikan


Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan adalah langkah pertama dengan mencakup identifikasi dari bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, memutuskan bidang-bidang pelaksanaan, menjelajahi administrasi secara luas, politik dan dimensi masyarakat, negosiasi dan konsultasi, dan akhirnya formulasi akhir serta pelaksanaan kebijakan. Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dari sasaran pada semua level untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak menghamburkan energi dalam konflik.
Banyak ahli politik sepakat bahwa proses pembentukkan kebijakan adalah integral bagi sistem politik yang ada. Pembentukan kebijakan merupakan tahap penentu pada proses politik yang efektif, dirubah menjadi keputusan yang berkewenangan. Kebijakan yang di hasilkan oleh sebuah pemerintahan tentunya melalui proses ilmiah untuk menghasilkan sebuah kebijakan, begitu juga dengan kebijakan pendidikan yang meracik seputar kebutuhan dalam pendidikan agar dapat terlaksana, untuk merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan sistematis seperti berikut ini:

1.     Munculnya Masalah dan Isue

Masalah kebijakan (publik) adalah kebutuhan dan nilai yang belum terpenuhi atau kesempatan untuk mengadakan perbaikan yang hanya dapat dilakukan melalui kebijakan publik (David Dery). Isu kebijakan (publik) adalah pandangan yang berbeda tentang masalah kebijakan serta cara untuk memecahkannya (W.N. Dunn). Masalah merupakan kensenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga menjadi memunculkan kegelisahan yang muncul pada masyarakat.
Bermuara dari problem yang muncul hingga berkembang menjadi hot news isue  yang berkembang di kancah publik menuai pro–kontra yang merupakan hasil perdebatan mengenai devinisi, eksplanasi dan evaluasi masalah. Oleh karena itu munculnya suatu masalah misalnya apakah pemerintah harus membuat peraturan tentang standar pendidikan dengan tingkat kelulusan pada dasarnya pada konflik  asumsi mengenai tingkat kualitas pendidikan. Selanjutnya isu menjadi embrio bagi awal munculnya masalah publik di bidang pendidikan jika masalah ini mendapat perhatian khalayak ramai maka akan masuk perhatian yang menyebabkan isu tersebut masuk ke dalam agenda kebijakan khususnya agenda kebijakan pendidikan.
Cendrung isu yang muncul dan berbuntut masalah di dunia pendidikan tentunya dalam ranah pendidikan baik berupa siswa, guru, sekolah, kepala sekolah, lembaga pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten atau kotamadya hingga tingkat elit yaitu di kementerian pendidikan semua ini merupakan sorotan publik terhadap perkembangan pendidikan baik di tinjau secara umum maupun secara khusus. Sebagi contoh isu yang sedang berkembang mengenai kualitas pendidikan yang sangat bobrok jika di bandingkan dengan negara berkembang lainnya, kualitas pendidikan dapat di katakan seperti ekor tikus yang semakin lama kualitasnya semakin merosot.
2.         Pengagendaan

Pada tahap ini seluruh isu dan masalah yang berkembang yang mempunyai urgensi terhadap kemaslahatan masyarakat, maka  secara otomatis isu dan masalah tersebut mendapat perhatian publik dan pejabat yang berwenang. Para aktor yang memfilter masalah dan isu yang muncul yang layak untuk di lakukan untuk di identifikasi lebih awal di bandingkan dengan isu dan masalah lain yang sedang hangat, untuk dimasukkan kepada pengagendaan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konfliknya terjadi di antara elit politik itu sendiri.
Munculnya berbagai masalah yang sangat urgen di kalangan masyarakat menjadi sorotan publik baik melalui media massa maupun media cetak para pejabat yang menangani masalah yang berkaitan dengan jabatannya menjadi pengagendaan dan memfilter masalah yang ada, pada tahap ini suatu masalah bisa tidak disentuh dan yang lain menjadi fokus dengan melihat kualitas masalah yang ada.

3.      Formulasi Kebijakan  

Pada tahap formulasi, masalah-masalah yang sudah masuk ke dalam agenda para perumus kebijakan mencari pemecahan masalah terbaik, semua yang mempunyai kepentingan disini bersaing untuk memberikan kontribusi agar dapat dikonsumsi oleh perumus kebijakan kemudian para kebijakan. Mengadopsi masukan yang ada dari sekian banyak alternatif yang di tawarkan oleh perumus hingga mengambil keputusan kebijakan yang akan di tetapkan oleh lembaga legislatif, atau peradilan. Jika sebuah kebijakan telah diambil maka secara tidak langsung pemerintah mewajibkan untuk mengimplementasikan kepada unit-unit administtrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia pada tahap terakhir evaluasi dengan bertujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah di rumuskan dapat memecahkan permasalahan. 
Terdapat dua pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu; pertama pendekatan deskriptif merupakan penelitian dalam ilmu pengetahuan untuk menerangkan sesuatu gejala yang terjadi dalam masyarakat pendekatan ini disebut juga pendekatan positif dengan ilmu pengetahuan menyajikan keadaan apa adanya dari suatu gejala, kedua pendekatan normatif merupakan upaya ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma atau kaidah yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah bertujuan untuk membantu para pengambil keputusan dalam bentuk pemikiran-pemikiran mengenai cara atau prosedur yang paling efesien dalam memecahkan suau masalah kebijakan publik disamping itu pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan suatu masalah kebijakan.
 
Kebijakan publik untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empatkategori. Pertama, ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa. Kedua, ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, danpengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian. Ketiga berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional. Kategori keempat  ialah kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. 


4.    Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan

Seperangkat peraturan tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa adanya yang membuat, begitu pula dengan kebijakan pendidikan. Simeon, menggolongkan lingkungan kebijaksanaan pendidikan menjadi; lingkungan politik dan lingkungan non politik, kedua lingkungan ini menurutnya sama-sama mempunyai pengaruh terhadap kebijakan, termasuk kebijaksanaan pendidikan. Kedua aktor-aktordalam hal menentukan siapa aktor kebijakan David Easton menerangkan bahwa ciri kebijakan publik yaitu kebijakan yang diformulasikan oleh penguasa dalam sistem politik. Yang dimaksud penguasa di sini adalah orang yang terlibat setiap hari dalam sistem politik sekaligus bertanggung jawab dalam persoalan ini, serta diakui keberadaannya oleh sebagian besar anggota sistem politik di mana tindakan-tindakannya dapat diterima serta mengikat dalam waktu yang panjang selama tindakan penguasa dalam batas kewenangannya.

Bercermin dari stakeholder yang sukses dalam memutuskan kebijakan pendidikan dilakukan oleh Bill Clinton, ketika menjabat Gubernur Arkansas dan dilanjutkannya saat menjabat presiden Amerika Serikat, yakni selalu melibatkan 3 (tiga) aktor utama dalam proses sebuah kebijakan pendidikan secara sinergis, mereka adalah unsur; (1) pemerintah, (2) para guru, dan (3) pakar pendidikan yang dipandang beliau lebih memahami kotak hitam (black box) persoalan pendidikan, bukan birokrat bermental proyek. Disini jelas terlihat bahwa pengambilan keputusan kebijakan di Amerika sangat sinergi karena aktor yang berperan ialah orang-orang yang berkompetensi di bidang pendidikan sehingga para aktor mengetahui apa yang diharapkan oleh pasar pendidikan dan percepatan global. Berbeda halnya dengan negara Indonesia aktor yang di tetapkan oleh pemerintah ialah orang-orang yang mempunyai power didalam kalangan elit politik tanpa melibatkan ahli pendidikan jikapun ada keputusan dominan pada elit politik.       
      
Dalam merumuskan kebijakan pendidikan, para pembuat kebijakan hendaknya memperhatikan beberapa karakteristik khusus. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah :

a.    Memiliki tujuan pendidikan, Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.    Memenuhi aspek legal-formal, Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.    Memiliki konsep operasional, Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
d.   Dibuat oleh yang berwenang, Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e.    Dapat dievaluasi, Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
f.     Memiliki sistematika, Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudiankebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

Menurut Tilaar dan Riant Nugroho[56], ada beberapa aspek yang mencakup dalam kebijakan pendidikan :
1.        Kebijakan pendidikan harus sesuai dengan  visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
2.        Kebijakan pendidikan harus meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
3.        Kebijakan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu.
4.        Kebijakan pendidikan harus ada keterbukaan dengan masyarakat sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
5.        Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan.
6.        Analisis kebijakan karena kebijakan pendidika merupakan bagian dari kebijakan publik
7.        Kebijakan pendidikan harus dutujukan kepada kebutuhan peserta didik.
8.        Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis
9.        Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.

10.    Kebijakan harus berdasarkan efisiensi.
11.    Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada peserta didik.
12.    Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijaksanaan yang irasional.
13.    Kejelasan tujuan akan melahirkan kebujakan pendidikan yang tepat, Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankankepentingan peserta didik.
14.    Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik dan bukan kepuasan birokrat. 

  Aspek-aspek kebijakan pendidikan tersebut di atas, berfungsi sebagai acuan dalam proses membuat kebijakan pendidikan, agar kebijakan yang dibuat itu tersusun secara sistematis dan ilmiah serta terlaksana dengan baik. Hal ini tentunya  diperlukan tim pengawasan yang ketat. Dalam pembentukan  tim pengawasan sebuah kebijakan, maka orang yang dipercayai tersebut, di harapkan dapat memberikan kontribusi yang tinggi, idealis dan cermat dalam persoalan yang muncul di lapangan, sehingga memanipulasi data dan informasi bisa terhindari.
     
5.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan

Sebuah kebijakan yang diputuskan oleh para perumus tidak serta merta di putuskan tanpa adanya pertimbangan dari nilai- nilai yang mempengaruhinya, faktor yang dimaksud ialah segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Soepandi menyebutkan ada beberapa faktor lingkungan pendidikan yang meliputi; kondisi sumber daya alam, iklim, demografi, budaya politik, struktur sosial dan kondisi sosial ekonomi.   

Dalam pembicaraan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan publik di bidang pendidikan tentunya tidak terlepas dengan tuntutan percepatan IPTEK yang berkembang di manca negara untuk menghadapi persaingan global, dengan nilai yang telah di ungkapkan diatas maka para aktor yang merumuskan kebijakan menjadi filter yang mampu  mencerna masalah yang timbul dengan berbagai kepentingan. Oleh karena itu kebijakan publik  untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu;
1.        Ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah danlembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa.
2.        Ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, dan pengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian.
3.        Berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional.
4.        Kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. 
 
Maka Faktor yang sangat mempengaruhi terhadap perumusan kebijakan pendidikan ialah faktor-faktor kondisi – kondisi ekonomi, sosial dan politik umumnya dan khususnya  segala sesuatu yang menyangkut dengan seluruh perangkat sistem pendidikan baik dengan kualitas guru, mutu pendidikan, anggaran pendidikan pengembangan kurikulum hingga pada peserta didik. Mengkaji banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pendidikan tentunya bukan hal mudah dalam merumuskan sebuah kebijakan harus cermat dan sangat teliti dalam menilai sebuah masalah. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan muncul terkadang disaat masalah yang berkembang sudah kadarluarsa.
6.      Adopsi/Legitimasi Kebijakan

Setelah kebijakan dirumuskan maka berlanjut pada pengabdopsian kebijakan tersebut. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.

E.  Implementasi Kebijakan Pendidikan    

Pada tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dalam proses kebijakan, suatu kebijakan dirumuskan untuk di implementasikan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan matang, pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan agar tidak terjadi kesenjangan antara rumusan dengan aplikasi dilapangan yang apabila tidak sejalan, maka tujuan tidak bisa di capai sebagaimana telah di rumuskan. Implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan. Implementasi pada dasarnya adalah sebuah tahapan proses. Proses dalam pengertian ini adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan kebijakan yang telah dicanangkan. Kunci keberhasilan dalam upaya implementasi dari kebijakan adalah ditentukan oleh prosesnya, terwujud dalam tahapan-tahapan yang secara teknis berlangsung dalam kegiatan implementasi tersebut.  
Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya.  Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan.  .
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok.
Proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik penddidikan.
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dipublikasikan pada khalayak ramai kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan tolak ukur kebijakan pendidikan adalah terletak pada implemantasinya. Implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan dapat berlaku dalam praktek. Walaupun pada awal tahun 2000 bangsa Indonesia banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan namun masih banyak terjadi overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan. Teori implementasi kebijakan di Indonesia 20 % keberhasilan di lihat dari pleaning dan 60 % dari Implementasi dan sisanya 20% adalah bagaimana mengendalikan implementasi.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka dalam mengimlementasikan pendekatan ini harus mempertimbangkan aspek perilaku manusia dan segala sikapnya, karena aspek perilaku manusia sangat penting, sebab kalau tidak sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat maka implementasi kebijakan terjadi penolakan. Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya penolakan masyarakat terhadap perubahan dan implementasi kebijakan yaitu: Pertama, adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan, kedua kekurangan informasi yang diterimanya berkenaan dengan kebijakan tersebut.

Proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik pendidikan.
Didalam kebijakan pendidikan aktor lapangan yang menjalankan secara langsung kebijakan yang telah di susun ialah siswa, guru, orang tua, kepala sekolah, komite sekolah lembaga dinas pendidikan tingkat II, dan dinas pendidikan tingkat I hingga kepada pusat pengambil keputusan yaitu kementerian pendidikan jika pada pendidikan umum, ada yang membedakan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama khususnya pendidikan yang bernuansa islami yaitu dibawah payung kementerian agama tentunya jika yang memayungi sebuah pendidikan berbeda maka sistem operasionalnya juga berbeda.
Menoleh ke historis berbagai bentuk kebijakan telah di hasilkan dimulai sebelum kemerdekaan hingga sampai sekarang di sebabkan oleh percepatan global dengan berbagai macam problem yang muncul. Saat ini sedang berjalan kebijakan selingkup dengan pendidikan yaitu kebijakan mengenai kurikulum, sistem pembelajaran, kualitas dosen dan kualias guru, sertifikasi, akreditasi sekolah, wajib belajar 9 tahun, anggaran pendidikan dan masih banyak lagi, namun pada implementasinya masih sangat jauh seperti yang diharapkan ini disebabkan oleh para elit politik yang bermain didalam perumusan hingga implementasi pendidikan. Dinding yang di buat oleh politik sangatlah susah untuk di tembus karena pusat birokrasi di Indonesia sangat buruk, lihat saja budaya masyarakat Indonesia haus akan kekuasaan dan uang. Hingga menyebabkan pengorbanan khalayak ramai untuk kepentingan pribadi.  Berikut ini beberapa implementasi kebijkan pada beberapa indikator pendidikan yaitu: siswa, guru, Manajemen Kepala Sekolah, Kurikulum, dan dana pendidikan.

F.   Evaluasi Kebijakan Pendidikan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
 Menurut Dunn; Ripley Fungsi Evaluasi yaitu untuk Eksplanasi : Menjelaskan realitas pelaksanaan program, Kepatuhan : Melihat apakah pelaksanaan sesuai standar dan prosedur), Auditing: Melihat apakah output sampai ke sasaran. Adakah kebocoran dan penyimpangan, Akunting: Apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misal seberapa jauh mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan. 
Evaluasi kebijakan berfungsi sebagai pengawasan yang bertujuan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan public guna dipertanggungjawabkan kepada konsituennya dalam rangka melihat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Selain itu evaluasi juga memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan dan dapat memberikan pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran kebijakan. Ada tiga tahap dalam melaksanakan evalusai yaitu : 
Pertama evaluasi formulasi kebijakan publik untuk melihat apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan dan teknik evaluasinya dapat mengacu pada model formulasi itu digunakan, jika formulasi kebijakan menemukan menggunakan model kelompok karena masalah yang dihadapi akan dapat diselesaikan dengan model kebijakan yang dirumuskan dalam kelompok maka proses formulasinyapun harus secara model kelompok. Jika yang terjadi tidak relevan maka secara proses formulasi kebijakan publik tidak dapat di peranggung jawabkan.
Kedua evaluasi Implemenasi  kebijakan publik Sofian efendi mengungkapkan bahwa tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengeahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab pertanyaan pokok yaitu: bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu terjadi?, bagaimana strategi peningkatan kinerja implemenasi kebijakan publik?
Ketiga evaluasi Lingkungan sosial kebijakan publik terbagi menjadi dua yang pertama evaluasi lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan sebuah deskripsi bagaimana lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan seperi itu. Kedua evaluasi lingkungan, implementasi kebijakan berkenaan dengan faktor-fakor lingkungan apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil.

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut waktu evaluasi, yaitu; sebelum dilaksanakan/evaluasi summatif, pada waktu dilaksanakan/ evaluasi proses dan setelah dilaksanakan/evaluasi konsekuensi (output) kebijakan atau evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan. Hasil evaluasi yang dihasilkan menjadi pusat perhatian dalam merumuskan kebijakan berikutnya adapun yang menjadi persalan yang mendesak yang harus di tangani ialah:
1.        Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yaitu pemerataan kesempatan memasuki  sekolah (equality of acces), pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival), pemerataan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output), dan pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality outcome)
2.        Kualitas pendidikan yang masih sangat rendah hingga menyebabkan bangssa Indonesia sulit dalam bersaing dengan negara lain, kuallitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output dengan cattattan bahwa output sangat di tentukan oleh proses dan proses sangat di ttentukan oleh input. Maka harus ada perhatian khusus terhadap kualitas guru
3.        Relevansi pendidikan yang menunjukkan kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan baik kebutuhan siswa itu sendiri masyarakat maupun dunia kerja banyaknya sarjanawan yang menjadi penganguran maka disini pemerintah harus mengkriitisi program studi yang di buka oleh perguruan tinggi harus relevan dengan tuntutan zaman.

Adapun beberapa sasaran evaluasi kebijakan yaitu: Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam pencapaian maksud dan tujuan, Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen kebijakan, Penerimaan program strategis yang merupakan kontribusi terbaik terhadap keberhasilan implementasi kebijakan, Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau akibat yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan. Evaluasi kebijakan agar dapat mengukur dampak kebijakan publik. Terhadap evaluasi biasanya pemerintah melakukan, kunjungan ke lokasi, mendengarkan dan laporan, pengukuran program, membandingkan dengan standar profesional dan mengevaluasi keluhan masyarakat.
 Namun kecenderungan evaluasi saat ini sering tidak sungguh-sungguh karena evaluatornya dari Pemerintah, Hasil evaluasi tak konklusif, membahas banyak persoalan tetapi tanpa arah yang jelas, sehingga tak ada rekomendasi yg argumentatif, Karena dilakukan secara rutin maka hasilnya kurang tajam. Hanya formalitas, membaca data  dan memasukkannya dalam form-form tertentu
Dalam pengimplementasian kebijakan pendidikan, terkadang permasalahan di lapangan sering dijumpai, sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan, hal ini disebabkan  karena adanya kesenjangan dalam pelaksanaan.
Beberapa kasus kesenjangan antara kebijakan dengan implementasinya ialah: UU mengenai UAN ditingkat aktor siswa disini berperan sebagai objek kebijakan dimana siswa di tuntut agar mampu lulus dalam ujian yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja untuk menentukan kelulusan dan tingkat kualitasnya, menyebabkan pembelajaran dilakukan sangat extra hanya pada saat ttingkat terakhir pendidikan di sekolah tersebut. Tidak hanya sampai disitu UAN ini menjadi momok bagi siswa hingga belajar ekstra dengan mengikuti private-private ini berlaku bagi golongan yang memiliki uang bagaimana dengan golongan yang miskin? Pertanyaan ini sangat memilukan pasalnya UU yang dihasilkan pemerintah secara tidak langsung terbentuk dikotomi antara kualitas pendidikan yang didapatkan antara simiskin dengan sikaya.
    
Konon saat ini pemerintah dalam kebijakannya telah mengucurkan dana 20 % untuk pendidikan, namun kenyataannya jauh dari yang diharapkan orang tua, anak jalanan ini jangankan untuk sekolah, untuk mendapat sesuap nasi  demi kelangsungan kehidupannya saja sangat sulit di peroleh. Sungguh sangat memprihatinkan dan yang paling mencengangkan para koruptor dan elit politik duduk di kursi basah tanpa menggubris keadaan masyarakatnya yang memilukan. Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa sistem pemerintah dan birokrasi Indonesia sangat buruk. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah yang bertanggung jawab?, apakah hukum atau peraturan yang telah di buat hanya untuk proyek elit politik saja? Untuk menjawabnya penulis serahkan kepada para pembaca yang mau dan perduli terhadap pendidikan kita saat ini !

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas maka dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa proses dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik umumnya dan kebijakan politik khususnya  yang sempurna sangatlah rumit dan panjang apalagi pada saat implementasi yang berkaitan dengan seluruh elemen dalam sebuah negara dan berdampak kepada masyarakat dan negara luar. 

  


          
   


DAFTAR PUSTAKA

http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses Produk dan Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press, 1994
Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003
Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003
http://Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993
Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007
Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, Yogyakarta: Pusat  Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008
M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Bandung, Rosdakarya, 2001
Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, “Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan”, Malang, 1981
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
M. Sirozi,  Politik pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005
Cecep Darm
awan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis, 2005
Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: INIS, 2004
Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008.         
Muhammad  Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27,  download tanggal 8 Januari 2011
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009  , download tanggal 8 Januari 2011
Media Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM Yogyakarta: 2002
Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, London England Scott Forgsman Little : Brown Higer Education, 1990
Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik, http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009,  download tanggal 8 Januari 2011
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010
Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit Unpad, 2006

Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

            1 http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
            2Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
            3 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
            4 Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses Produk dan Masa Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
            5 Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm. 123
            6 Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003, hlm. 95
            7 Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
            8 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hlm.1
            9 http:// Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
            10 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993), hlm.3
            11 Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.15
            12 Ali Imron,  Kebijaksanaan,  Ibid., hlm. 57
            13 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
            14 Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007, hlm 22
            15 Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat  Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989), hlm.16
          16 Syafaruddin, Evektivitas, Ibid., hlm. 77
              17 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 18- 19
            18 M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm.17
            19 Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, (Bandung, Rosdakarya, 2001), hal. 37.
            20 Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, “Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan”, (Malang, 1981), hal. 6
            21 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
            22 http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
            23 M. Sirozi,  Politik pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 1
            24 W.J.S. Poerwad Ali Muhdi, Tesis Karaker .., hlm.52

            26 Cecep Darmawan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
            27 Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010, hlm.4
            28  M. Sirozi,  Politik, .., hlm.1
              29 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis, 2005, hlm.110-136
            30Ibid., hal. 155-166
             31Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007 hal 92-95
            32 Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
            33  Syafaruddin, Evektivitas, Ibid., hlm 9
            34 Syafaruddin, Evektivitas .., 125
            35 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004), hlm.7
            36 Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
            37 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal.79
            38 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 18- 19          
            39 Tilaar., hlm. 190-191
            40 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
            41 Ibid.., hal 95
            42 Muhammad  Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27,  download tanggal 8 Januari 2011
            43 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
            44 Ali Imran, Kebijakan., Ibid, hlm.31-32
            45 Ibid., hlm.37
            46 Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009  , download tanggal 8 Januari 2011
            47  Media Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
            48 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan.,
            49 Ali Muhdi, Tesis Karakter Kebijakan .., hlm 39-46
            50 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 133-135
            51 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
            52 Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
            53 Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
            54 Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik, http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009,  download tanggal 8 Januari 2011
            55 Ibid.,
            56 Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 3
            57 H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
            58 Arif Rohman, Education, Ibid., hlm. 8-13
            59 Ibid., hlm. 14
            60 Wajdi Rahman, Implementasi, Ibid., hlm. 15
            61 Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
            62 Budi Winarno, Teori & Proses ...,  hlm. 149-160
            63 Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. (Bandung: Lemlit Unpad, 2006), hlm.135

            64 Budi Winarno, Teori, Ibid., hlm. 127
            65 Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 3
            66 Mudjia Rahardjo, Ibid.,
            67 Ibid., hlm. 250
            68 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 226
            69 H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 234
            70Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Hal. 168-173
            71 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 247




[1] http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
[2]Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
[3] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
[4] Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm. 123
[5] Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003, hlm. 95
[6] Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
[7] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hlm.1
[8]http://Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulum
[9] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993), hlm.3
[10] Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.15
[11] Ali Imron,  Kebijaksanaan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 57
[12] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
[13] Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi),(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm 22
[14] Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat  Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989), hlm.16
[15] Syafaruddin, Evektivitas., hlm. 77
[16] Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), (Yogyakarta : MedPress, 2008). Hal 18- 19
[17] M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm.17
[18] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung, Rosdakarya, 2001), hlm. 37.
[19] Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Malang: 1981), hlm. 6
[20] Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
[22] M. Sirozi,  Politik pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 1
[23] W.J.S. Poerwad Ali Muhdi, Tesis Karaker .., hlm.52
[24] http://hidupuntukberfikir.blogspot.com/2010/12/politik-pendidikan-institusi-kekuasaan.html
[25] Cecep Darmawan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
[26] Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010, hlm.4
[27]  M. Sirozi,  Politik, .., hlm.1
[28] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yokyakarta: Likis, 2005), hlm.110-136
[29] Catanese, Antony James, The Politics of Planning and Developmen, (London : Sage Publications Beverly Hill, 1984), hlm. 57
[30] Thomson, John Thomas, Policy Making in American Education, ( New Jersey: Englewood Cliffs, 1976), hlm.1
[31] http://jipkendal.wordpress.com/2007/12/12/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62/
[32]Benny Susetyo, Politik Pendidikan., hlm. 155-166
[33]Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007 hlm 92-95
[34] Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
[35] Syafaruddin, Evektivitas., hlm 9
[36] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakaya, 2010) hlm. 11
[37]http://file.upi.edu/Direktori/C%20%20FPBS/JUR.%20PEND.%20SENI%20RUPA/196611071994021%20%20TRI%20KARYONO/Memahami%20%20%27values%27%20dalam%20Pendidikan%20.TRI%20KARYONO.pdf
[39] H.A.R.Tilaar & RiantNugroho, KebijakanPendidikan, (Yogyakarta: PusakaPelajar, 2008), hlm. 134-135
[40] http://www.dhanay.co.cc/2008/12/hakikat-pendidikan_23.html
[41] Syafaruddin, Evektivitas., hlm.125
[42] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004), hlm.7
[43] tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
[44] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., hlm.79
[45] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan.,  hal 95
[46] Budi Winarno, Kebijakan Publik., hlm. 18- 19        
[47] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 190-191
[48] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
[49] Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasamrkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27,  download tanggal 8 Januari 2011
[50] http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
[51] Budi Winarno, Kebijakan Publik, hlm.37
[52] Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009  , download tanggal 8 Januari 2011
[53]  Media Indonesia, Dalam Artikel, Kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
[54] Budi Winarno, Kebijakan Publik., hlm. 133-135
[55] Ibid., hlm. 98
[56] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 141-150
[57] Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan .., hlm 39-46
[58] http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
[59] http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
[60] http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
[61] http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
  [62] Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
  [63] Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
 [64] Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik,http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009,  download tanggal 8 Januari 2011

[65] Ibid.,
[66] Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education., hlm. 3                   
[67] H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
[68] Arif Rohman, Education., hlm. 8-13
[69] Ibid., hlm. 14
[70] http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html
[71] Wajdi Rahman, Implementasi., hlm. 15
[72] http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/29/model-proses-implementasi-kebijakan-van-meter-and-van-horn/
[73] Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
[74] Budi Winarno, Teori & Proses.,  hlm. 149-160
[75] Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik. (Bandung: Lemlit Unpad, 2006), hlm.135
[76] Budi Winarno, Teori., hlm. 127
[77] Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education ., hlm. 3
[78] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19385/4/Chapter%20I.pdf
[79] http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
[80] Budi Winarno, Teori., hlm. 250
[81] http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
[83] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 226
[84] H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 234
[85]http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=N
[86]Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education., 168-173
[87] http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id/bahan-ajar/Adm_Lingk_13032007.pdf
[88] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 247