BAB I
PENDAHULUAN
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap
bidang pendidikan akan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih
mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan
yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak demikian. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi
oleh sistem pendidikan yang ada.
Hal tersebut diatas disebabkan beberapa
persoalan. Pertama adalah bahwa pendidikan di Indonesia
menghasilkan “manusia robot”. Karena pendidikan yang diberikan belum seimbang.
antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa
(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi, kedua, sistem pendidikan yang top down (dari
atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu
apa-apa, ketiga, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada
manusia yang dihasilkan, pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan
zaman dan tidak bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (wujud dehumanisasi)
merupakan fenomena yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi, hal
ini menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya. Mampukah kita
menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi dan budaya
situasi masyarakat lain. Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara menjadi sangat toleran untuk direnungkan.
Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merdeka,
tetapi belum memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai. Hal ini antara
lain disebabkan oleh karena kualitas penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari
berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan belum memadai. Dewasa ini
pendidikan nasional kurang menjanjikan, hal ini dikerenakan kebijakan
pendidikan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan fatal terhadap pembinaan
generasi mudah dan nasib negara / bangsa Indonesia. Dunia dewasa
ini IPTEK berkembang dengan sangat pesat, yang perlu diikuti oleh
strategi pendidikan nasional yang tepat pula agar dapat terbina sumberdaya
manusia Indonesia yang berkualitas sehingga dapat mempertahankan diri dari arus
perubahan global. Pemahaman mengenai kebijakan pendidikan dan kebijakan publik
sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakat Indonesia modern. Armada tenaga
profesional pendidik yang sangat besar dapat membentuk kelompok intelektual
organis yang maha dahsyat kekuatannya sebagai agen perubahan masyarakat
Indonesia abad XXI.
Dalam konteks apapun, pendidikan merupakan
sebuah basis vital. Ketika pendidikan sudah tidak lagi mampu memberi input
positif maka semuanya akan hancur. Oleh karena itu, tanpa harus berargumen,
pernyataan pendidikan harus mendapat perhatian khusus perlu menjadi kesepakatan
bersama. Dalam konteks ini, pendidikan yang mendapat tanggung jawab
besar atas keberlangsungan suatu peradaban manusia, perlu menetapkan
kebijakan-kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan seksama.
Berbicara mengenai kebijakan pendidikan tidak
dapat dilepaskan dengan keadaan politik. Keterkaitan pendidikan dan politik
yang ada pada suatu negara hampir sulit untuk dipisahkan, karena pendidikan
mempunyai peran yang besar terhadap negara melalui lembaga pendidikan untuk
mendidik warga negara agar dapat berguna dan berhasil bagi negara tersebut.
Dalam realita,
di dunia ini tak ada negara yang tak turut campur atas pendidikan warga
negaranya, maka di dunia pendidikan juga ada potensi-potensi konfliknya, terutama
yang berkaitan dengan upaya menjembatani antara kepentingan masyarakat dan
pemerintah. Karena masyarakat bertekat mewariskan kepentingan-kepentingannya
sendiri kepada generasinya, sementara pemerintah juga berkepentingan dengan
mendidik warga negara yang baik menurut paham pemerintah, maka tak mustahil
antara mesyarakat dan pemerintah berlawanan. Tawar-menawar antara banyaknya
kepentingan lembaga- lembaga, masyarakat, politik yang mesti
dimasukkan ke dalam kurikulum adalah salah satu wujud dari sekian banyak
terjadinya konflik kepentingan antara keduanya. Kerena itu dibutuhkan
pengaturan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Analisis Kebijakan Pendidikan
Berbagai corak para
ahli dalam menginterpresasikan konsep analisis kebijakan, salah satunya Duncan
macrae ia mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial
terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta
untuk menjelaskan, menilai dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya masalah
publik. Analisis kebijakan sebagai cara atau prosedur dalam menggunakan
pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan masalah kebijakan.
Menurut penelaah
sektor pendidikan analisis kebijakan pendidikan adalah suatu proses yang dapat
menghasilkan informasi teknis sebagai salah salah satu masukan bagi perumusan
beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Dunn membagi
analisis kebijakan menjadi dua dimensi yang besar pertama dimensi
rasional dan kedua dimensi politik yaitu suatu proses penentuan
kebijakan melalui suatu perjuangan politik dari beberapa kelompok kepentingan
yang berbeda- beda. Sedangkan menurut Patton dan sawacki ialah suatu reaksi
antara pembuat keputusan dengan para pemikir atau analisis dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan yang terjadi secara berkelanjutan pula,
dengan demikian yang dimaksud analisis kebijakan yang di kemukakan adalah suatu
proses pengelolaan pemecahan masalah.
Sebelum lebih jauh
membahas kebijakan pendidikan, terlebih dahulu penulis menjelaskan kebijakan
public. Secara etimologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy dalam
bahasa inggris. Dalam bahasa latin politia yang berarti
Negara, polis disebut dalam bahasa yunani yang berarti kota
dan kata pur dalam bahasa Sanskrit berarti kota serta police dalam
bahasa inggris berarti adminisrasi pemerintah. Berdasarkan asal kata ini
menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang ini dikenal dengan politic,
policy, polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintah the art
and science of government, sedangkan policy berarti hal-hal mengenai
kebijakan pemerintah, sedangkan police berarti hal-hal yang
berkernaan dengan pemerintahan adapun kebijakan pendidikan terjemahan
dari educational policy. Maka sebuah kebijakan merupakan
putusan seorang pemimpin atau yang mempunyai wewenang dalam sebuah lembaga.
Kebijakan publik
adalah kebijakan pemerintah yang dengan kewenangannya dapat memaksa masyarakat
untuk mematuhinya. Kebijakan publik adalah hasil pengambilan keputusan oleh
manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan
dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para menajer dan personel dalam
menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.
Maka dapat di katakan
bahwasannya kebijakan publik di pandang sebagai proses perumusan, implementasi
dan evaluasi kebijakan, dari sini dapat kita lihat bahwa lembaga-lembaga
pemerintahan atau aktor yang legitimasi dalam mengeluarkan serangkaian intruksi
kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
tercapainya tujuan. Sebuah kebijakan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya
melainkan adanya perencanaan dari sebuah fenomena–fenomena dan masalah yang
muncul secara publik yang menjadi petunjuk arah bagi pelaksana kebijakan agar
tujuan dari solusi permasalahan dapat terimplementasikan sehingga tercapainya
tujuan yang di inginkan.
Berbicara pendidikan
tentunya yang terbayangkan secara global seluruh kegiatan pembelajaran baik
dengan guru maupun dengan lingkungan dan pengalaman, baik bersifat formal, non
formal maupun informal jika menyelam khusus maka tergambar dalam pendidikan
ialah sebuah proses pembelajaran yang didalamnya terdiri dari lembaga-lembaga,
guru, siswa materi tempat bertemunya guru dan siswa dll.
Pendidikan adalah
aktivitas atau upaya yang sadar dan terencana, dirancang untuk membantu
seseorang mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup,
baik yang bersifat manual, maupun mental dan social. Pendidikan merupakan :
a) usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
jasmani dan rohani yang sifatnya indrawi dan keterampilan tertentu, dan
rohaninya yang berkaitan dengan olah pikir, olah rasa, karsa, cipta, dan
perilaku etika atau budi/susila,
b)
Institusi yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita dan tujuan pendidikan,
system dan organisasi pendidikan, baik pendidikan dalam lembaga keluarga,
masyarakat, sekolah dan Negara,
c) Berkaitan dengan
hasil yang dicapai dalam pendidikan dan mampu meningkatkan kebudayaan masyarakat
yang lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana masyarakat lebih dewasa berfikir,
lebih teknologis dalam menjalani kehidupan, dan rasional, efektif, efesien
dalam melakukan berbagai jenis obyek kerja.
Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik di bidang
pendidikan, kebijakan publik berkenaan dengan segala kebijakan yang di ambil
oleh pemerintah seperti kebijakan ekonomi, kebijakan hukum, kebijakan agama dan
lainnya yang menyangkut dengan problem warga negara.
Maka berbicara kebijakan pendidikan sama halnya
dengan kebijakan publik namun mengkhususkan pada bidang pendidikan yang
merupakan gabungan kata policy education. Kebijakan pendidikan pada
hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan, prinsip dan
aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk
dipedomani oleh pimpinan, staf dan personel organisasi, serta interaksinya
dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya
berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan
pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan.
Bertitik tolak dari
uraian di atas dapat di simpulkan bahwa kebijakan pendidikan ialah seperangkat
ketetapan, peraturan yang di usung pemerintah berdasarkan permasalahan yang timbul
di bidang pendidikan yang dimulai dengan perumusan, penetapan, implementasi
hingga pada evaluasi terhadap sistem pendidikan guna tercapainya
tujuan pendidikan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh Ujian Nasional yang
menjadi alat ukur yang di terapkan oleh pemerintah dalam menilai kualitas
pendidikan yang menghasilkan pengaruh dan berdampak pada sistem pendidikan ini
merupakan sebuah terobosan kebijakan pendidikan sebagai usaha mencapai tujuan
pendidikan yang berkualitas walaupun terdapat pro dan kontra disaat
implementasi berlangsung.
B. Dinamika Politik Dalam Kebijakan
Pendidikan
Carut marutnya
pendidikan kita tidak terlepas dari campur tangan pemerintah sebagai pemangku
kebijakan. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil, untuk tidak
dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di lapangan adalah
manifestasi dari regulasi yang ada. Setiap undang-undang sistem pendidikan
nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan
pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya
mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis
berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu
yang dikehendaki penguasa.
Hidup adalah masalah,
begitulah persepsi kebanyakan orang, masalah terbagi dua bagian pertama masalah
pribadi yaitu masalah yang hanya dialami oleh satu orang dan orang tersebut
mampu menyelesaikan masalah yang muncul dan masalah kelompok, kedua golongan
atau masalah publik yaitu suatu masalah yang menyerap perhatian khalayak ramai
yang mempunyai tujuan yang sama hingga pada pelaksanaanya. Maka masalah
pendidikan yang merupakan bagian dari masalah publik, ini dapat dikatakan
masalah prosuderal dengan regulasi, yang dapat menyedot perhatian publik.
Dengan otomatis politik bermain di dalamnya, namun tidak semua masalah yang
muncul menjadi masalah namun pada sekelompok golongan atau seseorang menjadi
sebuah keuntungan terhadap masalah yang muncul.
Pendidikan dan politik
adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik
negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai
bagian-bagian yang terpisah yang satu sama lain tidak memiliki hubungan
apa-apa. Padahal keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik
masyarakat di suatu negara.
Politik pendidikan adalah suatu pendekatan
atau metode yang didasarkan kepada kebudayaan nasional untuk mempengaruhi
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Politik pendidikan yang menjadi panduan dalam
perjalanan pendidikan nasional, dengan adanya politik pendidikan maka akan
terbentuk konsep yang tepat, kuat,dan kokoh. Yang nantinya diharapkan
pendidikan mampu melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan baik
secara intelektual, emosional, maupun sosial.
Selama ini pendidikan, jarang digunakan
sebagai instrumen politik dalam menentukan arah dan bentuk masa depan.
Pendidikan lebih banyak menjadi korban politik dan bukan katalis politik dalam
mewujudkan visi dan misi pembangunan. Implikasi nyata dari kesadaran ini, yaitu
perlunya pemberdayaan pendidikan sebagai bagian penting dari proses politik di
Indonesia, khususnya politik karakter bangsa bagi pembangunan negara yang absolut.
Pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun karakter bangsa dan
pembangkitan kesadaran atau nasionalisme bangsa. Sayangnya, kita belum mampu
merumuskan dan atau menggunakan pendidikan sebagai katalis pembangunan, atau
pendidikan sebagai instrumen politik kebangsaan. Politik pendidikan
adalah sektor penting bagi masa depan Indonesia. Sebab, dengan politik
pendidikan ini, Indonesia bisa menentukan potret hari esok dari saat ini.
Setiap kesuksesan
suatu negara dilandasi oleh pendidikan yang kokoh. Kesuksesan dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya, maupun agama dilandasi oleh suksesnya pendidikan.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat
mata, tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan
memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia
yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk
mengubah pendidikan menjadi media berpolitik yang sehat dan sekaligus mampu
mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan
bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.
Negara-negara berkembang, pendidikan formal
memiliki peran yang penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik dan
dalam proses regenerasi pemimpin elite politik baru. Proses dan lembaga-lembaga
pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki
beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas, dan
praktik sehari-harinya. Pendidikan merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah
yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah
dan memengaruhi kredibilitas pemerintah.
Problema-problema pendidikan kita semakin
kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah
untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif
terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan
perubahan-perubahan pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai.
Adapun kasus –kasus yang muncul terhadap pendidikan sangat beragam namun yang
akan di ungkapkan hanya beberapa saja yang menjadi perwakilan dari kasus –kasus
yang ada yaitu:
a. Kaum Miskin Bersekolah, sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan
yang mahal dan fovorit hanya untuk anak-anak kalangan elit saja yang mampu
bersaing dalam merebut kursi. Ironisnya mayoritas penduduk Indonesia miskin
dengan demikian tidak ada tempat bagi kaum miskin. Ini disebabkan karena
pendidikan yang sangat mahal hingga pada setiap akhir tahun ajaran baru orang
tua berduyun-duyun menuju pegadaian untuk memenuhi biaya sekolah anaknya yang
bermutu. Jika pada kaum miskin sangat menyedihkan pendidikan hanya sekedar
didapat agar bisa membaca, menulis dan berhitung sedangkan bagi mereka yang
mempunyai modal dan kekuasan akan memperoleh pendidikan yang bermutu.
b. Ironi Pendidikan Sebagai Ladang Bisnis. Orientasi sistem pendidikan nasional
tidak jelas, selain terlalu menegara, juga ada tujuan dan fungsi yang
dikaburkan, ketidak jelasan ini membuat orientasi sekolah hanya untuk proyek
investasi. Inilah yang membuat sekolah menjadi alat untuk mencari posisi daan
kedudukan belaka, demi ini proses untuk membawa siswa pada kesadaran akan
kedewasaan tidak lagi menjadi orientasi mendasar yang penting adalah yang
terlihat di permukaan. Fenomena ini membuat sekolah menjadi mahal karena dunia
pendidikan sudah menjadi ladang bisnis, bisnis pendidikan sangat menjanjikan
bagi bangsa yang gila gelar. Karena itu jangan heran jika kualitas pendidikan
hanya di jadikan topeng semata, kualitas pendidikan hanya di kompromikan dengan
selera pasar, ironinya sekolah bukan tempat menjadikan anak yang berintelektual
melainkan sebagai alat peroleh status sosial. Orang tua akan bangga jika
anaknya diterima di sekolah yang favorit dan mahal meskipun bagi sang anak
menjadi beban, yang penting gengsi orang tua akan naik tanpa memperhatikan
kemampuan anaknya. Pendidikan hanya berusaha beagaiamana membekali siswa
dengan rumusan-rumusan teori saja siswa bukan diajak untuk berproses menjadi
manusia. Jika pendididkan lantas terjerumus kedalam dunia bisnis maka akan
berlaku siapa yang mempunyai uang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya anak
miskin tidak terperhatikan, anak miskin tidak pernah di pertimbangkan untuk
mendapatkan sekolah bermutu, bahkan tidak mendapat pendidikan dan
sepertinya anak miskin sudah distigmatisasikan sebagai orang yang di buang dari
sturuktur masyarakat.
c. Komersialisasi dan keprihatinan kritikus
pendidikan. Pendidikan
sebagai barang dagangan sudah menjadi keprihatianan pemikir-pemikir terdahulu
seperti Ivan Illich, paulo Freire, margareth Mead, Nicholas Abercromble,
immanuel Wallerstein, Louis Althusser, Pierre Bourdieu dll, mereka telah
mengingatkan bahwa lembaga pendidikan bukanlah media untuk memberikan
distribusi yang adil terhadap penyaluran pengetahuan informasi bagi semua pihak
pendidikan bukan hanya untuk dimonopoli oleh yang bermodal. Sistem pendidikan
modern telah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hidup mandiri,
ini berdasarkan ungkapan Romo Wahono menurutnya sistem pendidikan diIndonesia
berpola model pendidikan anjing, model ini bersifat hafalan, kepada tuhan,
sistem komando, subordinasi dan sistem militerisik, siswa bukan di jadikan
subjek yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan guru. Seharusnya
pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan modal dan
subordinasi kekuasaan, dinegara kita pendidikan lepas dari realitas kehidupan hingga
lulusan sekolah tidak mampu berinovasi dan berkreasi karena pendidikan hanya
sekedar memperoleh ijazah dan gelar bukan proses pemerdekaan yang membawa pada
pencerahan.
d. Pendidikan gratis hanya sebagai Komoditas
politik, melihat keadaan bangsa
Indonesia sangat menyedihkan kenapa tidak, pendidikan merupakan sarana yang
sangat bermutu bagi elit politik untuk menyukseskan tujuan politiknya, lihat
saja pada setiap pemilihan presiden, legislatif, gubernur, hingga wallikota
sekalipun semua meneriakkan janji politik dengan pendidikan gratis, sudah
menjadi tradisi penguasa dalam berjanji dan tidak maksimal dalam menepati,
tidak terkecuali, berbeda halnya dengan negara diluar Indonesia masyarakat
melakukan pengawasan terhadap semua janji politik jika dalam durasi waktu tiga
bulan tidak terealisasi, maka masyarakat menuntutnya. Rakyat Indonesia
seolah-olah melupakan janji para elit politik maka kita harus mengingat bahwa
rakyat kita bukan pelupa dengan janji palsu merangkai menggunakan kemanisan
lidah. Lebih memilukan dimana perhatian pemerintah kepada rakyat miskin.
Jangankan memenuhi kebutuhan sekolah untuk makan saja mereka tidak mempunyai
uang.
Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusia
menjadi beradab dan berbudi pekerti luhur, manusia yang berperasaan dan
menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai,
pendidikan memperlakukan manusia sebagai manusia tidak peduli berasal dari
keluarga kaya atau keluarga miskin, sebab pendidikan merupakan wilayah netral
yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas, pendidikan
bersifat objektif, rendahnya kualitas pendidikan secara otomatis berdampak pada
rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Dalam teori system social, politik dan
pendidikan berada dalam satu system yang saling berhubungan dekat. Apalagi dari
kiprahnya, para pendidik selalu memelihara politik karena proses pendidikan
yang memberikan sumber nilai dan memberikan kontribusi terhadap politik.
Pendidikan memberikan kontrisbusi yang sangat siknifikan terhadap politik
teruama stabiliasi dan transformasi system politik.
Indonesia belum mampu memproses manusia
yang merdeka dari sikap dan sifat minder, warga negara yang digerakkan oleh
mentalitas kuli dan babu yang cendrung menjilat keatas dan menginjak ke bawah yang
tidak setia kepada kawan yang mudah menghianati dan menjualnya yang enak dan
mudah membunuh nama baik dari sini timbul watak yang tidak membela kepada
kebenaran. Perlu adanya revolusi pendidikan dengan mengubah orientasi
pendidikan dari watak elitis yakni hanya mengejar-ngejar pangkat, kedudukan
tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusia dengan mengabaikan hal ini
pendidikan hanya mentranfer ilmu saja. Disini muncul krisis kepemimpinan.
Instrumen yang di pimpin ialah manusia sistem politik yang berjalan tentunya
bersifat otoriter.
Pada proses pendidikan, guru merupakan objek
pelaksana pembangunan pendidikan yang dituntut mampu dalam metodelogi
pengajaran dan penguasaan subtansi belajar mengajar, guru dimanfaatkan oleh
sistem negara yang menatar berbagai proyek untuk berbagai mata pelajaran secara
sentral dan terorganisasi oleh birokrasi dengan rapi namun nasib guru tidak
pernah di perhatikan sebagai kesatuan pribadi yang mandiri, bahagia dan merdeka
dalam proses pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional, jadi guru merupakan
alat atau insrumen negara bukan milik atau bagian dari masyarakat dalam
mendidik dan mendewasakan anak-anak. Disamping itu evaluasi pendidikan
dijadikan alat legitimasi kekuasaan birokrasi pendidikan di tingkat pusat, alat
evaluasi dilakukan secara terpusat pada standar nasional, bentuk soal multipe
choice dan kelompok siswa yang berhasil cendrung kelompok sekolah yang berada
di pulau Jawa, di pusat kota-kota yang berbeda dengan kelompok siswa yang
berada di pedesaan. Ini sangat tidak adil, tidak hanya itu kurikulum pendidikan
tampak condong menempatkan praktik pendidikan sebagai intrumen belaka.
Pendiddikan ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan
ini semua karena pendidikan sebagai alat legitimasi politik.
Secara teoritik, proses pemecahan atas masalah
pendidikan melalui kebijakan dapat dilaksanakan secara sistematik pragmatik,
namun secara empiris sering kali berjalan kurang efektif. Efektivitas kebijkan
pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai.
Salah satu penyebabnya adalah sulitnya mengendalikan perilaku birokrasi yang
diinginkan bangsa Indonesia, kurang dapat berjalan, yang disebabkan oleh tidak
adanya unsur masyarakat saat kebijakan hendak diakomodasikan menjadi sebuah
program.
Anggaran pendidikan 20%, merupakan produk
politik. Namun, keberlakuan UU ini sangat dipengaruhi political will dari
elite politik sendiri. Pejabat publik yang memiliki kepentingan politik
sektoral yang lebih besar, akan bersikap berbeda dengan pejabat publik yang
memiliki kepedulian terhadap kualitas SDM Indonesia masa kini dan masa depan.
Keberlanjutan dan kelancaran program pembangunan di Indonesia saat ini, sangat
dipengaruhi kepentingan-kepentingan politik. Bahkan, bukan hanya dalam aspek
anggaran mulai dari kurikulum, proses, pembenahan sarana pendidikan, dan
evaluasi pembelajaran penentuan kelulusan, didalamnya semua yang bermain
politik.
Dengan demikian, maka makin jelaslah bahwa
pendidikan bisa dipengaruhi oleh dinamika politik, dan atau sebaliknya dinamika
politik dipengaruhi oleh masalah pendidikan . Kekuatan politik, ekonomi,
sosial, budaya menjadi landasan kelas penguasa dalam menentukan arah tujuan
pendidikan. Perlu adanya dorongan atau pengawalan yang dilakukan kaum sipil
terhadap kebijakan penguasa, agar tujuan pendidikan tetap pada hakikatnya,
yakni memanusiakan manusia tanpa mengekang hak-hak nya sebagai
individu seutuhnya.
Banyak para pakar mencemaskan pendidikan
nasional dewasa ini, merupakan subordinasi dari kekuatan – kekuatan politik
praktis. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam kancah perebutan
kekuasaan oleh partai-partai politik. Pendidikan bukan lagi bertujuan untuk
membangun manusia seutuhnya, melainkan untuk membangun kekuatan partai polotik
tertentu untuk kepentingan golongan ataupun kelompoknya sendiri. Dalam
pandangan ini politik ditentukan oleh dua paradigma, yaitu paradigm teknologi
dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang
menjamin kenyamanan hidup manusia. Sedangkan paradigma ekonomi menekankan
kepada pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan material yang duniawi, tetapi mengesampingkan
kebutuhan-kebutuhan yang bukan materialis duniawi.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka
karena banyaknya kepentingan pribadi politik yang di prioritaskan menyebabkan
pendidikan di indonesia makin merosot karena kepentingan golongan di abaikan
kebijakan yang di buat hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem pemerintahan
tanpa bertindak tegas atas mafia pelaksana sistem di tingkat elit politik,
disamping itu seluruh aktor perumus kebijakan yang secara tidak langsung
menjadi bagian dari pemeran politik juga mempunyai andil atas implemenasi
pendidikan yang ada saat ini sakit.
C. Kebijakan Pendidikan
Berdasarkan Hakikat Pendidikan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
paling mulia, yang memiliki unsur Jiwa dan raga yang satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Manusia tanpa jiwa berarti mati, dan yang jiwanya labil
berarti Schizophrenia (sakit jiwa;sakit), dan raga hanyalah
bungkus yang tiada daya upaya kalau tidak diberi jiwa oleh Allah. Yang
membedakan manusia dengan makhluk lain adalah akal untuk “berpikir” dengan
berpikir manusia memimiliki kesadaran (conciousness) yang
dijadikan modal moral (makhluk lain tidak punya tujuan moral). Menurut
Nursid oleh karena manusia maklhluk yang berpikir maka manusia memiliki
sejumlah kemampuan (a) membaca (b) melihat (c) berkomunikasi (d) menjelajajah
(e) belajar.
Menjelajah, melakukan penelitian, berpikir
alternatif, berfilsafat dan belajar karena manusia memiliki curioscity atau
keingintahuan yang lebih dibandingkan makhluk lainnya. Manusia sebagai makhluk
yang senang belajar, bagi yang menyadari hakikat ”kemanusiaannya” karena
diciptakan Allah maka sebaiknya mempunyai rasa pengabdian kepada Allah dengan
jalan beriman dan bertaqwa, menjalan perintah Allah dan menjauhi segala
larangannnya. Bagi umat muslim tujuan itu adalah menjadi manusia Qur’ani,
melaksanakan kitabulllah pedoman tertulis yang Maha Besar, dan juga
melaksanakan sunnatullah. Melalui agama manusia sebenarnya diajak berpikir pula
karena agama bersifat knowing (misalnya: mengetahui tentang
shalat), doing (melakukan shalat secara baik dan benar), being (mengaplikasi
shalat dalam kehidupan sehari-hari dengan beramal shaleh). Jadi iman dan taqwa
(seperti dalam UUD Pendidikan Nasional) adalah jatidiri pendidikan yang harus
disikapi dan dicapai oleh insan pendidikan.
Pendidikan merupakan transfer of
knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of
religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia.
Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu
atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama,
filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan
hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk
mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah
mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan
Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah
(insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh
nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat
pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi
yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan
pendidik;
2. Pendidikan
merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami
perubahan yang semakin pesat;
3. Pendidikan
meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4. Pendidikan
berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan
prinsip-prinsip ilmu.
Hakekat pendidikan tergantung kepada pandangan
tentang hakekat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para
tokoh. Pertama Ki Hajar Dewantara, menurutnya, manusia itu pada
dasarnya merupakan mahkluk yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas
eksistensinya, kedua Romo Mangun, dia memandang manusia
sebagai mahkluk kreatif yang dianugrahi oleh Allah dengan kebebasan berfikir
untuk menentukan tempatnya sendiri di dunia ini, ketiga pandangan
manusia menurut Poulo Freire, menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas
namun dipenjara dalam berbagai kehidupan social sehingga manusia itu kehilangan
kesadarannya untuk kreatif dan mengembangkan kemanusiaanya, keempat menurut
Amartya Sen, manusia menurutnya, mempunyai berbagai kemampuan yang dapat
dikembangkan apabila dia mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya.
Dari pendapat para pemikir tersebut di atas,
maka jelaslah bahwa pandangan tentang manusia sangat berkaitan erat dengan
proses pendidikan. Dimana proses manusia untuk mewujudkan kemerdekaan
diperlukan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pribadi yang merdeka.
Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan
meliputi unsur-unsur sebagai berikut : Dalam lingkup teori dirumuskan gambaran
manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan
visi dan misi tersebut.
D. Perumusan masalah
kebijakan pendidikan
Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan adalah
langkah pertama dengan mencakup identifikasi dari bidang umum, analisis,
penyusunan sasaran, memutuskan bidang-bidang pelaksanaan, menjelajahi
administrasi secara luas, politik dan dimensi masyarakat, negosiasi dan
konsultasi, dan akhirnya formulasi akhir serta pelaksanaan kebijakan.
Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dari sasaran pada semua level
untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak
menghamburkan energi dalam konflik.
Banyak ahli politik sepakat bahwa proses
pembentukkan kebijakan adalah integral bagi sistem politik yang
ada. Pembentukan kebijakan merupakan tahap penentu pada proses politik
yang efektif, dirubah menjadi keputusan yang berkewenangan. Kebijakan yang di
hasilkan oleh sebuah pemerintahan tentunya melalui proses ilmiah untuk
menghasilkan sebuah kebijakan, begitu juga dengan kebijakan pendidikan yang
meracik seputar kebutuhan dalam pendidikan agar dapat terlaksana, untuk
merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan sistematis seperti berikut ini:
1. Munculnya Masalah dan Isue
Masalah
kebijakan (publik) adalah kebutuhan dan nilai yang belum terpenuhi atau kesempatan untuk mengadakan perbaikan yang hanya dapat dilakukan
melalui kebijakan publik (David Dery). Isu kebijakan (publik) adalah pandangan
yang berbeda tentang masalah kebijakan serta cara untuk memecahkannya (W.N.
Dunn). Masalah merupakan kensenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga
menjadi memunculkan kegelisahan yang muncul pada masyarakat.
Bermuara
dari problem yang muncul hingga berkembang menjadi hot news isue yang
berkembang di kancah publik menuai pro–kontra yang merupakan hasil perdebatan
mengenai devinisi, eksplanasi dan evaluasi masalah. Oleh karena itu munculnya
suatu masalah misalnya apakah pemerintah harus membuat peraturan tentang standar
pendidikan dengan tingkat kelulusan pada dasarnya pada
konflik asumsi mengenai tingkat kualitas pendidikan. Selanjutnya isu
menjadi embrio bagi awal munculnya masalah publik di bidang pendidikan jika
masalah ini mendapat perhatian khalayak ramai maka akan masuk perhatian yang
menyebabkan isu tersebut masuk ke dalam agenda kebijakan khususnya agenda
kebijakan pendidikan.
Cendrung isu yang muncul dan berbuntut masalah di dunia
pendidikan tentunya dalam ranah pendidikan baik berupa siswa, guru, sekolah,
kepala sekolah, lembaga pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten atau kotamadya
hingga tingkat elit yaitu di kementerian pendidikan semua ini merupakan sorotan
publik terhadap perkembangan pendidikan baik di tinjau secara umum maupun
secara khusus. Sebagi contoh isu yang sedang berkembang mengenai kualitas
pendidikan yang sangat bobrok jika di bandingkan dengan negara berkembang
lainnya, kualitas pendidikan dapat di katakan seperti ekor tikus yang semakin
lama kualitasnya semakin merosot.
2. Pengagendaan
Pada tahap ini seluruh isu dan masalah yang
berkembang yang mempunyai urgensi terhadap kemaslahatan masyarakat, maka secara
otomatis isu dan masalah tersebut mendapat perhatian publik dan pejabat yang
berwenang. Para aktor yang memfilter masalah dan isu yang muncul yang layak
untuk di lakukan untuk di identifikasi lebih awal di bandingkan dengan isu dan
masalah lain yang sedang hangat, untuk dimasukkan kepada pengagendaan kebijakan
merupakan kesepakatan dan juga hasil konfliknya terjadi di antara elit politik
itu sendiri.
Munculnya berbagai masalah yang sangat urgen
di kalangan masyarakat menjadi sorotan publik baik melalui media massa maupun
media cetak para pejabat yang menangani masalah yang berkaitan dengan
jabatannya menjadi pengagendaan dan memfilter masalah yang ada, pada tahap ini
suatu masalah bisa tidak disentuh dan yang lain menjadi fokus dengan melihat kualitas
masalah yang ada.
3. Formulasi
Kebijakan
Pada tahap formulasi, masalah-masalah yang
sudah masuk ke dalam agenda para perumus kebijakan mencari pemecahan masalah
terbaik, semua yang mempunyai kepentingan disini bersaing untuk memberikan
kontribusi agar dapat dikonsumsi oleh perumus kebijakan kemudian para
kebijakan. Mengadopsi masukan yang ada dari sekian banyak alternatif yang di
tawarkan oleh perumus hingga mengambil keputusan kebijakan yang akan di
tetapkan oleh lembaga legislatif, atau peradilan. Jika sebuah kebijakan telah
diambil maka secara tidak langsung pemerintah mewajibkan untuk
mengimplementasikan kepada unit-unit administtrasi yang memobilisasikan
sumberdaya finansial dan manusia pada tahap terakhir evaluasi dengan bertujuan
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah di rumuskan dapat memecahkan
permasalahan.
Terdapat dua pendekatan dalam analisis
kebijakan yaitu; pertama pendekatan deskriptif merupakan penelitian
dalam ilmu pengetahuan untuk menerangkan sesuatu gejala yang terjadi dalam
masyarakat pendekatan ini disebut juga pendekatan positif dengan ilmu
pengetahuan menyajikan keadaan apa adanya dari suatu gejala, kedua pendekatan
normatif merupakan upaya ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma atau
kaidah yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah
bertujuan untuk membantu para pengambil keputusan dalam bentuk
pemikiran-pemikiran mengenai cara atau prosedur yang paling efesien dalam
memecahkan suau masalah kebijakan publik disamping itu pendekatan normatif yang
dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam memberikan gagasan
hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan suatu masalah
kebijakan.
Kebijakan publik untuk pendidikan bisa
dikelompokkan menjadi empatkategori. Pertama, ada kebijakan yang
berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah dan lembaga-lembaga
pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan
dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan
penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian
siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa. Kedua,
ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, danpengaturan lembaga
individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian. Ketiga berhubungan
dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh
staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional.
Kategori keempat ialah kebijakan yang berhubungan dengan
ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan
dan peralatan.
4. Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan
Pendidikan
Seperangkat peraturan tidak mungkin muncul
dengan sendirinya tanpa adanya yang membuat, begitu pula dengan kebijakan pendidikan. Simeon,
menggolongkan lingkungan kebijaksanaan pendidikan menjadi; lingkungan politik
dan lingkungan non politik, kedua lingkungan ini menurutnya sama-sama mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan, termasuk kebijaksanaan pendidikan. Kedua aktor-aktor, dalam
hal menentukan siapa aktor kebijakan David Easton menerangkan bahwa ciri
kebijakan publik yaitu kebijakan yang diformulasikan oleh penguasa dalam sistem
politik. Yang dimaksud penguasa di sini adalah orang yang terlibat setiap hari
dalam sistem politik sekaligus bertanggung jawab dalam persoalan ini, serta
diakui keberadaannya oleh sebagian besar anggota sistem politik di mana
tindakan-tindakannya dapat diterima serta mengikat dalam waktu yang panjang
selama tindakan penguasa dalam batas kewenangannya.
Bercermin dari stakeholder yang sukses dalam
memutuskan kebijakan pendidikan dilakukan oleh Bill Clinton, ketika menjabat
Gubernur Arkansas dan dilanjutkannya saat menjabat presiden Amerika Serikat,
yakni selalu melibatkan 3 (tiga) aktor utama dalam proses sebuah kebijakan
pendidikan secara sinergis, mereka adalah unsur; (1) pemerintah, (2) para guru,
dan (3) pakar pendidikan yang dipandang beliau lebih memahami kotak hitam
(black box) persoalan pendidikan, bukan birokrat bermental proyek. Disini jelas
terlihat bahwa pengambilan keputusan kebijakan di Amerika sangat sinergi karena
aktor yang berperan ialah orang-orang yang berkompetensi di bidang pendidikan
sehingga para aktor mengetahui apa yang diharapkan oleh pasar pendidikan dan
percepatan global. Berbeda halnya dengan negara Indonesia aktor yang di
tetapkan oleh pemerintah ialah orang-orang yang mempunyai power didalam
kalangan elit politik tanpa melibatkan ahli pendidikan jikapun ada keputusan
dominan pada elit politik.
Dalam merumuskan kebijakan pendidikan, para
pembuat kebijakan hendaknya memperhatikan beberapa karakteristik khusus. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah :
a. Memiliki
tujuan pendidikan, Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih
khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
b. Memenuhi
aspek legal-formal, Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu
adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan
resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan
pendidikan yang legitimat.
c. Memiliki
konsep operasional, Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat
umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan
dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi
pendukung pengambilan keputusan.
d. Dibuat
oleh yang berwenang, Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di
bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan
langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e. Dapat
dievaluasi, Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan,
sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga,
kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi
terhadapnya secara mudah dan efektif.
f. Memiliki sistematika, Kebijakan pendidikan
tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika
yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu
pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu
sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya
kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudiankebijakan
pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.
1. Kebijakan
pendidikan harus sesuai dengan visi dan misi dari pendidikan dalam
masyarakat tertentu.
2. Kebijakan pendidikan harus meliputi proses
analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
3. Kebijakan haruslah mempunyai validitas dalam
perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu.
4. Kebijakan pendidikan harus ada keterbukaan
dengan masyarakat sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk
rakyat banyak.
5. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan
pengembangan.
6. Analisis kebijakan karena kebijakan pendidika
merupakan bagian dari kebijakan publik
7. Kebijakan pendidikan harus dutujukan kepada
kebutuhan peserta didik.
8. Kebijakan pendidikan diarahkan pada
terbentuknya masyarakat demokratis
9. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan
penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
10. Kebijakan harus berdasarkan efisiensi.
11. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi
kepada peserta didik.
12. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau
kebijaksanaan yang irasional.
13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebujakan pendidikan yang
tepat, Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan
mengorbankankepentingan peserta didik.
14. Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta
didik dan bukan kepuasan birokrat.
Aspek-aspek kebijakan pendidikan
tersebut di atas, berfungsi sebagai acuan dalam proses membuat kebijakan
pendidikan, agar kebijakan yang dibuat itu tersusun secara sistematis dan
ilmiah serta terlaksana dengan baik. Hal ini tentunya diperlukan tim
pengawasan yang ketat. Dalam pembentukan tim pengawasan sebuah
kebijakan, maka orang yang dipercayai tersebut, di harapkan dapat memberikan
kontribusi yang tinggi, idealis dan cermat dalam persoalan yang muncul di
lapangan, sehingga memanipulasi data dan informasi bisa terhindari.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan
Pendidikan
Sebuah kebijakan yang diputuskan oleh para
perumus tidak serta merta di putuskan tanpa adanya pertimbangan dari nilai-
nilai yang mempengaruhinya, faktor yang dimaksud ialah segala hal yang berada
diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan.
Soepandi menyebutkan ada beberapa faktor lingkungan pendidikan yang meliputi;
kondisi sumber daya alam, iklim, demografi, budaya politik, struktur sosial dan
kondisi sosial ekonomi.
Dalam pembicaraan faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan publik di bidang pendidikan tentunya tidak terlepas
dengan tuntutan percepatan IPTEK yang berkembang di manca negara untuk
menghadapi persaingan global, dengan nilai yang telah di ungkapkan diatas maka
para aktor yang merumuskan kebijakan menjadi filter yang
mampu mencerna masalah yang timbul dengan berbagai kepentingan. Oleh
karena itu kebijakan publik untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi
empat kategori yaitu;
1. Ada kebijakan yang berkenaan dengan
fungsi-fungsi esensil dari sekolah danlembaga-lembaga pendidikan
tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum,
tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan
sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan
dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa.
2. Ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan,
struktur, dan pengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang
menyeluruh atau sebagian.
3. Berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan,
promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama
kategori-kategori berbeda dari para professional.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan
alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan
peralatan.
Maka Faktor yang sangat mempengaruhi terhadap
perumusan kebijakan pendidikan ialah faktor-faktor kondisi – kondisi ekonomi,
sosial dan politik umumnya dan khususnya segala sesuatu yang
menyangkut dengan seluruh perangkat sistem pendidikan baik dengan kualitas
guru, mutu pendidikan, anggaran pendidikan pengembangan kurikulum hingga pada
peserta didik. Mengkaji banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
pendidikan tentunya bukan hal mudah dalam merumuskan sebuah kebijakan harus
cermat dan sangat teliti dalam menilai sebuah masalah. Maka tidak heran jika
sebuah kebijakan muncul terkadang disaat masalah yang berkembang sudah
kadarluarsa.
6. Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Setelah kebijakan dirumuskan maka berlanjut
pada pengabdopsian kebijakan tersebut. Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi -
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
E. Implementasi Kebijakan
Pendidikan
Pada tahap ini merupakan tahap yang sangat
krusial dalam proses kebijakan, suatu kebijakan dirumuskan untuk di
implementasikan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan matang, pada
tahap perumusan atau pembuatan kebijakan agar tidak terjadi kesenjangan antara
rumusan dengan aplikasi dilapangan yang apabila tidak sejalan, maka tujuan
tidak bisa di capai sebagaimana telah di rumuskan. Implementasi kebijakan
adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara individu maupun
kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam
kebijakan. Implementasi pada dasarnya adalah sebuah tahapan proses. Proses
dalam pengertian ini adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang mengarah
kepada pencapaian tujuan-tujuan kebijakan yang telah dicanangkan. Kunci
keberhasilan dalam upaya implementasi dari kebijakan adalah ditentukan oleh
prosesnya, terwujud dalam tahapan-tahapan yang secara teknis berlangsung dalam
kegiatan implementasi tersebut.
Implementasi sebuah kebijakan secara
konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam,
manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus
diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil
tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam
kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan
perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil
sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang
harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan. .
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan
instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Implikasi sebuah
kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan
aplikasi. Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu
banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa
indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret
semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya
berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga;
manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang
diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu
maupun kelompok.
Proses formulasi dan implementasi kebijakan
pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh
eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh
kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian
berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas
lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan
dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik
penddidikan.
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan
dipublikasikan pada khalayak ramai kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan
tolak ukur kebijakan pendidikan adalah terletak pada implemantasinya.
Implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan
kebijakan pendidikan dapat berlaku dalam praktek. Walaupun pada awal tahun 2000
bangsa Indonesia banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai
pendidikan namun masih banyak terjadi overlaping dan kesalahan dalam
implementasi program-program pendidikan. Teori implementasi kebijakan di
Indonesia 20 % keberhasilan di lihat dari pleaning dan 60 % dari Implementasi
dan sisanya 20% adalah bagaimana mengendalikan implementasi.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka dalam
mengimlementasikan pendekatan ini harus mempertimbangkan aspek perilaku manusia
dan segala sikapnya, karena aspek perilaku manusia sangat penting, sebab kalau
tidak sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat maka implementasi kebijakan
terjadi penolakan. Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya penolakan masyarakat
terhadap perubahan dan implementasi kebijakan yaitu: Pertama, adanya
kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan, kedua kekurangan informasi
yang diterimanya berkenaan dengan kebijakan tersebut.
Proses formulasi dan implementasi kebijakan
pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh
eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh
kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian
berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas
lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan
dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik pendidikan.
Didalam kebijakan pendidikan aktor lapangan
yang menjalankan secara langsung kebijakan yang telah di susun ialah siswa,
guru, orang tua, kepala sekolah, komite sekolah lembaga dinas pendidikan
tingkat II, dan dinas pendidikan tingkat I hingga kepada pusat pengambil
keputusan yaitu kementerian pendidikan jika pada pendidikan umum, ada yang
membedakan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama khususnya pendidikan
yang bernuansa islami yaitu dibawah payung kementerian agama tentunya jika yang
memayungi sebuah pendidikan berbeda maka sistem operasionalnya juga berbeda.
Menoleh ke historis berbagai bentuk kebijakan telah
di hasilkan dimulai sebelum kemerdekaan hingga sampai sekarang di sebabkan oleh
percepatan global dengan berbagai macam problem yang muncul. Saat ini sedang
berjalan kebijakan selingkup dengan pendidikan yaitu kebijakan mengenai
kurikulum, sistem pembelajaran, kualitas dosen dan kualias guru, sertifikasi,
akreditasi sekolah, wajib belajar 9 tahun, anggaran pendidikan dan masih banyak
lagi, namun pada implementasinya masih sangat jauh seperti yang diharapkan ini
disebabkan oleh para elit politik yang bermain didalam perumusan hingga
implementasi pendidikan. Dinding yang di buat oleh politik sangatlah susah
untuk di tembus karena pusat birokrasi di Indonesia sangat buruk, lihat saja
budaya masyarakat Indonesia haus akan kekuasaan dan uang. Hingga menyebabkan
pengorbanan khalayak ramai untuk kepentingan pribadi. Berikut ini
beberapa implementasi kebijkan pada beberapa indikator pendidikan yaitu: siswa,
guru, Manajemen Kepala Sekolah, Kurikulum, dan dana pendidikan.
F. Evaluasi Kebijakan
Pendidikan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang
sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya
dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Menurut Dunn;
Ripley Fungsi Evaluasi yaitu untuk Eksplanasi : Menjelaskan
realitas pelaksanaan program, Kepatuhan : Melihat apakah pelaksanaan
sesuai standar dan prosedur), Auditing: Melihat apakah output sampai ke
sasaran. Adakah kebocoran dan penyimpangan, Akunting: Apa akibat sosial
ekonomi dari kebijakan. Misal seberapa jauh mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan.
Evaluasi kebijakan berfungsi sebagai
pengawasan yang bertujuan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan
public guna dipertanggungjawabkan kepada konsituennya dalam rangka melihat
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Selain itu evaluasi juga
memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan dan dapat memberikan
pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat
memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran
kebijakan. Ada tiga tahap dalam melaksanakan evalusai yaitu :
Pertama evaluasi formulasi kebijakan publik untuk melihat apakah
formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan dan teknik evaluasinya dapat
mengacu pada model formulasi itu digunakan, jika formulasi kebijakan menemukan
menggunakan model kelompok karena masalah yang dihadapi akan dapat diselesaikan
dengan model kebijakan yang dirumuskan dalam kelompok maka proses
formulasinyapun harus secara model kelompok. Jika yang terjadi tidak relevan
maka secara proses formulasi kebijakan publik tidak dapat di peranggung
jawabkan.
Kedua evaluasi Implemenasi kebijakan publik Sofian efendi
mengungkapkan bahwa tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah
untuk mengeahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan pokok yaitu: bagaimana kinerja implementasi kebijakan
publik? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu terjadi?, bagaimana
strategi peningkatan kinerja implemenasi kebijakan publik?
Ketiga evaluasi Lingkungan sosial kebijakan publik terbagi
menjadi dua yang pertama evaluasi lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan
sebuah deskripsi bagaimana lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan
seperi itu. Kedua evaluasi lingkungan, implementasi kebijakan berkenaan dengan
faktor-fakor lingkungan apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil.
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga
menurut waktu evaluasi, yaitu; sebelum dilaksanakan/evaluasi summatif, pada
waktu dilaksanakan/ evaluasi proses dan setelah dilaksanakan/evaluasi
konsekuensi (output) kebijakan atau evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan.
Hasil evaluasi yang dihasilkan menjadi pusat perhatian dalam merumuskan
kebijakan berikutnya adapun yang menjadi persalan yang mendesak yang harus di
tangani ialah:
1. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yaitu
pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of acces),
pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival),
pemerataan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output),
dan pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan
masyarakat (equality outcome)
2. Kualitas pendidikan yang masih sangat rendah
hingga menyebabkan bangssa Indonesia sulit dalam bersaing dengan negara lain,
kuallitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output dengan cattattan
bahwa output sangat di tentukan oleh proses dan proses sangat di ttentukan oleh
input. Maka harus ada perhatian khusus terhadap kualitas guru
3. Relevansi pendidikan yang menunjukkan
kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan baik kebutuhan siswa itu sendiri
masyarakat maupun dunia kerja banyaknya sarjanawan yang menjadi penganguran
maka disini pemerintah harus mengkriitisi program studi yang di buka oleh
perguruan tinggi harus relevan dengan tuntutan zaman.
Adapun beberapa sasaran evaluasi kebijakan
yaitu: Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam pencapaian maksud
dan tujuan, Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen kebijakan,
Penerimaan program strategis yang merupakan kontribusi terbaik terhadap keberhasilan
implementasi kebijakan, Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau
akibat yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan. Evaluasi kebijakan agar
dapat mengukur dampak kebijakan publik. Terhadap evaluasi biasanya
pemerintah melakukan, kunjungan ke lokasi, mendengarkan dan laporan, pengukuran
program, membandingkan dengan standar profesional dan mengevaluasi keluhan
masyarakat.
Namun kecenderungan evaluasi saat ini
sering tidak sungguh-sungguh karena evaluatornya dari Pemerintah, Hasil
evaluasi tak konklusif, membahas banyak persoalan tetapi tanpa arah yang jelas,
sehingga tak ada rekomendasi yg argumentatif, Karena dilakukan secara rutin
maka hasilnya kurang tajam. Hanya formalitas, membaca data dan
memasukkannya dalam form-form tertentu
Dalam pengimplementasian kebijakan pendidikan,
terkadang permasalahan di lapangan sering dijumpai, sehingga hasil yang didapat
tidak sesuai dengan harapan, hal ini disebabkan karena adanya
kesenjangan dalam pelaksanaan.
Beberapa kasus kesenjangan antara kebijakan
dengan implementasinya ialah: UU mengenai UAN ditingkat aktor siswa disini
berperan sebagai objek kebijakan dimana siswa di tuntut agar mampu lulus dalam
ujian yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja untuk menentukan kelulusan dan
tingkat kualitasnya, menyebabkan pembelajaran dilakukan sangat extra hanya pada
saat ttingkat terakhir pendidikan di sekolah tersebut. Tidak hanya sampai
disitu UAN ini menjadi momok bagi siswa hingga belajar ekstra dengan mengikuti
private-private ini berlaku bagi golongan yang memiliki uang bagaimana dengan
golongan yang miskin? Pertanyaan ini sangat memilukan pasalnya UU yang
dihasilkan pemerintah secara tidak langsung terbentuk dikotomi antara kualitas
pendidikan yang didapatkan antara simiskin dengan sikaya.
Konon saat ini pemerintah dalam kebijakannya
telah mengucurkan dana 20 % untuk pendidikan, namun kenyataannya jauh dari yang
diharapkan orang tua, anak jalanan ini jangankan untuk sekolah, untuk mendapat
sesuap nasi demi kelangsungan kehidupannya saja sangat sulit di
peroleh. Sungguh sangat memprihatinkan dan yang paling mencengangkan para
koruptor dan elit politik duduk di kursi basah tanpa menggubris keadaan
masyarakatnya yang memilukan. Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa sistem
pemerintah dan birokrasi Indonesia sangat buruk. Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah siapakah yang bertanggung jawab?, apakah hukum atau peraturan
yang telah di buat hanya untuk proyek elit politik saja? Untuk menjawabnya
penulis serahkan kepada para pembaca yang mau dan perduli terhadap pendidikan
kita saat ini !
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penulisan ini dapat
disimpulkan bahwa proses dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik umumnya dan
kebijakan politik khususnya yang sempurna sangatlah rumit dan
panjang apalagi pada saat implementasi yang berkaitan dengan seluruh elemen
dalam sebuah negara dan berdampak kepada masyarakat dan negara luar.
DAFTAR PUSTAKA
http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20
pendidikan.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan :
Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, Bandung;Alfabeta, Cet 11,
2010
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan
Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan
pendidikan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia: Proses Produk dan Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas
Budaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press, 1994
Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003
Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi
Research, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003
http://Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta :Raja
Gravindo Persada, 1993
Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi,
dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, Jakarta: Rineka
Cipta, 2008
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan
Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional &
Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde
Baru dan Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007
Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, Yogyakarta:
Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta :
MedPress, 2008
M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Bandung, Rosdakarya, 2001
Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Malang, “Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan”, Malang, 1981
Solichin Abdul Wahab, Analisis
Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta:
Bumi Aksara, 1997
http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
M. Sirozi, Politik pendidikan.
Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005
Cecep Darm
awan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei
2009
Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis,
2005
Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia,
Yokyakara: Tiara Wacana, 2007
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In
Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: INIS, 2004
Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10
Des 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta :
MedPress, 2008.
Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k ,
http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27, download tanggal
8 Januari 2011
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Aswandi, Proses sebuah kebijakan,
http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009 , download
tanggal 8 Januari 2011
Media Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12
Desember 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta :
MedPress, 2008
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD
kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi.
Tesis MAP UGM Yogyakarta: 2002
Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice,
London England Scott Forgsman Little : Brown Higer Education, 1990
Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik,
http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/
23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2010
Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward,
http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/
January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit
Unpad, 2006
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2010
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In
Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
1
http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
2Sugiono,
Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R &
D, (Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
3
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami
kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
4
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses Produk dan Masa
Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
5
Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, (Yogyakarta:
SI Press, 1994), hlm. 123
6 Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1,
Februari-Juli 2003, hlm. 95
7
Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia,
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
8
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hlm.1
9
http:// Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
10
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta :Raja Gravindo
Persada, 1993), hlm.3
11
Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi
kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
hlm.15
12
Ali Imron, Kebijaksanaan, Ibid., hlm. 57
13
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
14
Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi
Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan
Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007, hlm 22
15
Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat Antar
Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989), hlm.16
16
Syafaruddin, Evektivitas, Ibid., hlm. 77
17
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress,
2008. Hal 18- 19
18
M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2001), hlm.17
19
Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah”, (Bandung, Rosdakarya, 2001), hal. 37.
20
Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, “Kapita Selekta-Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan”, (Malang, 1981), hal. 6
21
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
22
http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
23
M. Sirozi, Politik pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005),
hlm. 1
24
W.J.S. Poerwad Ali Muhdi, Tesis Karaker .., hlm.52
26
Cecep Darmawan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4
Mei 2009
27
Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010, hlm.4
28 M.
Sirozi, Politik, .., hlm.1
29
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis, 2005,
hlm.110-136
30Ibid.,
hal. 155-166
31Agus
Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara
Wacana, 2007 hal 92-95
32
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
33 Syafaruddin,
Evektivitas, Ibid., hlm 9
34
Syafaruddin, Evektivitas .., 125
35
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS,
2004), hlm.7
36
Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
37
Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal.79
38
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress,
2008. Hal 18- 19
39
Tilaar., hlm. 190-191
40
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
41
Ibid.., hal 95
42
Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k ,
http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010
10:27, download tanggal 8 Januari 2011
43
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
44
Ali Imran, Kebijakan., Ibid, hlm.31-32
45
Ibid., hlm.37
46
Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20
Juli 2009 , download tanggal 8 Januari 2011
47 Media
Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
48
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan.,
49
Ali Muhdi, Tesis Karakter Kebijakan .., hlm 39-46
50
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress,
2008. Hal 133-135
51
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
52
Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta,
dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM
(Yogyakarta: 2002), hlm. 29
53
Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England
Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
54
Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik,
http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/
23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011
55
Ibid.,
56
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
2010), hlm. 3
57
H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
58
Arif Rohman, Education, Ibid., hlm. 8-13
59
Ibid., hlm. 14
60
Wajdi Rahman, Implementasi, Ibid., hlm. 15
61
Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward,
http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/
January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
62
Budi Winarno, Teori & Proses ..., hlm. 149-160
63
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. (Bandung: Lemlit Unpad, 2006),
hlm.135
64
Budi Winarno, Teori, Ibid., hlm. 127
65
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
2010), hlm. 3
66
Mudjia Rahardjo, Ibid.,
67
Ibid., hlm. 250
68
Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 226
69
H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 234
70Arif
Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010 Hal. 168-173
71
Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 247
[2]Sugiono, Metode
Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D,
(Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
[3] Tilaar
dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan :
Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
[4] Tabrani
& Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya
dan Politik,
(Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm. 123
[6] Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
[7] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi
Research, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2003), hlm.1
[10] Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep,
strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.15
[12] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
[13] Ali Muhdi, Tesis Karaker
Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di
Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi),(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm
22
[14] Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas
Gajah Mada, 1989), hlm.16
[17] M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm.17
[18] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung, Rosdakarya,
2001), hlm. 37.
[19] Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Malang, Kapita
Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Malang: 1981), hlm. 6
[20] Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
[29] Catanese, Antony James, The Politics of Planning and Developmen, (London : Sage Publications Beverly
Hill, 1984), hlm. 57
[30] Thomson, John Thomas, Policy Making in American Education, ( New Jersey: Englewood Cliffs, 1976), hlm.1
[33]Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007 hlm 92-95
[34] Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
[37]http://file.upi.edu/Direktori/C%20%20FPBS/JUR.%20PEND.%20SENI%20RUPA/196611071994021%20%20TRI%20KARYONO/Memahami%20%20%27values%27%20dalam%20Pendidikan%20.TRI%20KARYONO.pdf
[38] http://file.upi.edu/Direktori/C%20-
20-20 FPBS/JUR.%20PEND.%BAHASA%20ARAB%20/19 5204141980021%20%DUDUNG%20RAHMAT%20HIDAYAT/HAKIKAT%20PENDIDIKAN.pdf-
[39] H.A.R.Tilaar & RiantNugroho, KebijakanPendidikan, (Yogyakarta: PusakaPelajar, 2008), hlm.
134-135
[49] Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasamrkan
5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27, download tanggal 8 Januari 2011
[52] Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli
2009 , download tanggal 8
Januari 2011
[62] Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan
UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi
pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
[63] Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little :
Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
[64] Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik,http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011
[72] http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/29/model-proses-implementasi-kebijakan-van-meter-and-van-horn/
[73] Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward,
http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
[82]http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=N
[85]http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=N