Sunday 7 July 2013

Hukum Kedudukan Undang-Undang 1945 Sebagai Sarana Politik Praktis



BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Dalam perkembangan UUD 1945 telah menjadi landasan berpikir, landasan teori, dan landasan hukum bangsa, ini kemudian menjadi landasan politik untuk berbagai kepentingan  baik itu kepentingan kelompok, partai politik, dan kepentingan pribadi. Ini menjadi ironis ketika sebuah pondasi dijadikan alat untuk mencapai kepentingan yang merugikan banyak masyarakat.
Dalam kaitannya UUD1945 telah mengalami berbagai pergeseran atau perubahan yang kita kenal sebagai amandemen, amandemen itu kita kenal sebagai penyempurnaan UUD 1945 atau sebagai celah politik untuk mencapai tujuan melalui UUD 1945.
Dalam perkembangan politik dan hukum kita mengenal beberapa teori politik dan teori hukum melalui beberapa pakar politik dan pakar hukum seperti :Plato, Aristoteles, Carl Schmidt,Mr. E.M. Mayers,dan masih banyak lagimendefinisikan mengenai politik dan hukum.
Indonesia menempuh prosedur perubahan besar-besaran, kalau tidak mau dikatakan pergantian UUD, karena dari 199 ketentuan yang terdapat pada UUD baru, hanya 27 yang berasal dari UUD 1945 asli. Bentuk dan susunan pemerintahan negara R.I. mengalami perubahan mendasar, dan menghasilan pemerintahan negara yang tidak stabil dan tidak efektif, persis seperti ramalan para constitutional framers hampir enam puluh tahun yang lalu.Peringatan pak Mahfudz agar Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila harus menjadi landasan dalam pembangunan politik hukum dan sebagai landasan dasar dalam penyusunan hukum ternyata telah diabaikan oleh MPR.Hukum dasar atau grondwet yang mereka hasilkan dalam kenyataannya telah menyimpang dari falsafah dasarnya sebagaima tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.perkembangan konfigurasi politik bangsa. Ternyata perubahan dinamika politik yang cepat karena didorong oleh Gerakan Reformasi pada 1998 telah mengobarkan nafsu untuk merombak UUD secara semena-mena.
Pada tataran yang lebih rendah kita juga melihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen yang semena-mena.Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia. Jadi, cita-cita Prof. Mahfudz untuk “Membangun Politik Hukum (untuk) Menegakkan Konstitusi” nampaknya masih harus diperjuangkan bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi juga oleh segenap bangsa Indonesia.
Ploitik hukum, yang ditetapkan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak di rumuskan secara tegas tentang kearah mana aturan akan dialirkan, apakah akan mengutamakan keikutsertaan di dalam percaturan ekonomi dunia atau memperkuat pertahanan di dalam negeri.
Hubungan antara politik dan hukum sebagai dua subsistem kemasarakatan, dalam hal-hal penting tertentu hukum lebih banyak di dominasioleh politik sehingga sejalan dengan melemanya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak di warnai kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya teknis, tidak substansial, dan bersifat jangka pendek. 
Politik
Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi.Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat madani.Usaha untuk mencapai masyarakat yang madani.ini menyangkut bermacam macam kegiatan yang diantaranya terdiri dari proses penentuan tujuan dari sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.Carl SchmidtPolitik didefinisikan sebagai ilmu memerintah dan mengatur Negara.Litre.
Hukum
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya. Mr. E.M. Mayers
Hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu. Duguit
Bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. M.H. Tirtaamidjata, S.H.,
Politik Hukum
Dari beberapa pakar telah menyatakan bahwa politik hukum tidak terlepas dari perkembangan Negara, dan menjadi alat utama bagi pemerintah untuk mencapai tujuan memperbarui aturan atau membuat aturan-aturan baru dengan membumbui unsur politik didalamnya.:
Menurut Mochtar kusumaadmadja:
“Politik hukum adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan, dalam rangka pembaharuanhukum”.
Menurut Teku Mohammad Radhie (prisma No.6 Thn. Ke II Des. 1973):
“Adapun politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah, dan mengenai arah kemana hukum hendak di kembangkan”.
Pernyataan para pakar diatas menyatakan dengan jelas bahwa hukum adalah senjata, alat, utama dalam menjalankan pemerintahan.Kita bisa menyebutnya sebagai pedang bermata duayang tajam kebawah namun tumpul ke atas, artinya aturan itu hanya berlaku untuk masyarakat, sementara itu pemerintah tidak tersentuh oleh hukum itu.
Dengan beberapa kalinya terjadi amandemen ini membuktikan bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ada pada UUD 1954, dengan demikian, tampak jelas dari perjalanan sejarah politik bahwa dalam periode-periode berlakunya UUD 1945 selalu muncul pemerintah yang otoriter karna setiap penguasa selalu mengakumulasikan kekuasannya dengan menggunakan celah-celah yang terkandung dalam UUD 1945 itu sendiri. (celah-celah itu adalah: system executive heavy, pasal-pasal yang berwahyu arti, atribusi kewenangan yang terlalu besar, dan kepercayaan kepada semangat seseorang.”) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD. Perdebatan hukum tatanegara.Cetakan ke I, juli 2010.
Berdasarkan masalah diatas penulis mencoba mengkaji UUD 1945 yang menjadi landasan Hukum apakah sebagai alat politik.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas penulis mengkaji Apakah UUD 1945 sebagai alat politik atau sebagai landasan hukum..?



1.3. Tujuan
Sebagai kontribusi untuk memahami UUD 1945 sebagai landasan hukum Negara, bukan sebagai sarana politik semata yang digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan seorang, kelompok, atau golongan yang berkuasa, akan tetapi sebagai regulasi yang dijadikan patokan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.4. Manfaat
penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoristis maupun secara praktis sebagai berikut:
a.       Secara teoristis sumbangan pemikiran terhadap dunia pendidikan (akademik) dan ilmu pengetahuan pada umumnya dapat memperkaya pengetahuan politik hukum kususnya tentang UUD 1945
b.      Manfaat praktis sebagai sumbangan pemikiran terhadap dunia praktis berupa masukan dan koreksi terhadap Undang-Undang Dasar 1945.








 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    AmandemenUU 1945
Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja.Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera.Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal.Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966) Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen.
Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
    Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
    Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi.Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI. Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR.
Proses reformasi konstitusi tahun 1999-2002 karenanya memikul beban sejarah, sekaligus berusaha mengantisipasi nasib bangsa Indonesia kemasa depan.
Banyak pihak hari ini mempertanyakan dan mengkambinghitamkan eksistensi UUD 1945 dan berkeinginan untuk mengubahnya.Dan uniknya, seolah-olah, problematika ketatanegaraan melulu soal teks konstitusi.Proporsionalkah teks konstitusi kita sekarang tepat dijadikan sasaran sebagai “terdakwa” atas problematika ketatanegaraan maupun ketetapemerintahan? Situasi untuk mendesakkan perubahan berbasis pada tekstualitas semata akan:
a.       Mempertontonkan dominasi aliran pemikiran ketatanegaraan yang instrumentatif, yang sebenarnya tidak begitu mengherankan di tengah kuatnya arus utama pemikiran positivisme dalam dunia hukum; dan yang lebih berbahaya,
b.      Menghilangkan esensi dari spirit konstitusionalisme Indonesia.

Setelah amandemen keempat, UUD 1945 diakui jauh lebih baik dalam beberapa sisi, utamanya untuk menata hubungan dan fungsi lembaga negara, pembatasan kekuasaan presiden, serta pengakuan lebih luas hak-hak asasi manusia. Apalagi dalam penataan kelembagaannya dibentuk sejumlah organ negara yang menyokong fungsi-fungsi kekuasaan, sebagai konsekuensi pembaruan hukum (termasuk di dalamnya pembaruan dan penataan organ-organ kekuasaan).
Dalam kenyataan, kemajuan konstitusi yang demikian begitu gampang dipecundangi oleh praktik kenegaraan yang sarat koruptif dan kesewenang-wenangan di berbagai level kebijakan, dan lagi-lagi, sejumlah pelanggaran hak-hak dasar negara dilakukan secara sengaja dan dibiarkan secara sistemik terjadi. Kekerasan terhadap petani, liberalisasi kebijakan perburuhan, privatisasi sumberdaya alam dan sektor-sektor penting publik, legalisasi beragam modus korupsi, serta penghancuran sistem-sistem sosial-ekonomi lokal oleh mesin-mesin kapitalistik yang difasilitasi negara melengkapi penggerogotan teks dan spirit konstitusi Indonesia.
kebangsaan dan kenegaraannya memperkuat upaya “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, “memajukan kesejahteraan umum”, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Sedangkan kedudukan Pancasila dalam Pembukaan tersebut menjadi norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang kian memperkuat falsafah kehidupan bernegara. Pilihan-pilihan perubahan konstitusi merupakan politik hukum tersendiri yang harus dijelaskan pada rakyat, apakah tujuan perubahannya dalam rangka mentransformasikan akar konstitusionalisme Indonesia?

B.     Politik UUD 1945
Dari beberapa kalinya terjadinya amandemen diatas dan berlaku kembali secara resmi UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945, politik hukum yang di gali dari  UUD hasil amandemen ini adalah pengujian oleh lembaga kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari politik hukum perundang-undangan.
Dari uraian singkat diatas mempunyai dua fungsi yakni sebagaipotret politik hukum dalam arti rencana hukum yang akan dibuat untuk mencapai tujuan Negara dalam periode tertentu sekaligus sebagai mekanisme formal-prosedural yang menentukan sah dan tidaknya prosedur pembuatan hukum.
Politik hukum pasca amandemen  UUD 1945 secara singkat dapat dikatakan bahwa alur politik hukum nasional sudah di wadahi atau diatur dengan rapi agar setiap hukum selalu mengalir.
Ada sebuah fakta sejarah bahwa ternyata selama menggunkan UUD 1945 negeri ini tidak pernah menampilkan system politik yang demokratis. Berbagai pertanyaan bermunculan satu-persatu UUD 1945 tidak pernah melahirkan pemerintahaan yang konstitusional dan demokratis seperti penjelasan diatas UUD 1945 mengalami beberapa kali perubahan yang selalu berkaitan dengan kepentingan (politik) dan perubahan system politik :
·         1945 – 1959
Demokrasi parlementer, system politik yang muncul adalah demokratis
·         1959 – 1966
Demokrasi terpimpin, system politik yang muncul adalah Otoriter
·         1966 – 1998
Demokrasi pancasila, system politik yang muncul adalah OtoriterDari rangkaian diatas terlihat jelas pada periode pertama system politik yang muncul adalah system politik demokratis, setelah terjadi amandemen system politik yang dipakai adalah otoriter, mengapa demikian ?ini dikarenakan setiap penguasa selalu mengakumulasikan kekuasaannya  dengan menggunakan celeh-celah yang terkandung dalam UUD 1945.
UUD 1945 hasil amandemen melahirkan hukum tata Negara baru yang sekarang sudah berjalan cukup lama, seperti perubahan dan penambahan lembaga-lembaga baru pembagian kekuasaan kehakiman kedalam Mahkama Agung dan Mahkama Konstitusi kemudian perubaha system otonomi daerah , perubahan system pemilihan presiden dan cara memberhentikannya dalam masajabatan.
Lembaga-lembaga Negara setelah amandemen
Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
Menghilangkan supremasi kewenangannya.Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
Posisi dan kewenangannya diperkuat.Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
BPK
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
Presiden
    Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
Mahkamah agung
Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
Mahkamah konstitusi
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
    Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Demokrasi dan negara Hukum
Negara adalah sebuah organisasi, dalam hubunganya dengan pembagian kekuasaan kedalam berbagai lembaga, maka dapat dikatakan bahwa adanya kekuasaan yang dibagi-bagikan menurut fungsi, wewenang dan kedudukan di dalam suatu negara menunjukan bahwa negara tersebut menganut paham demokrasi, bukan negara monarki atau pemeritahan dictator.Pembagian demikian harus di cantumkan dalam undang-undang dasar tersebut.
Dalam UUD 1945, mengeksplisitkan adanya berbagai lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan  yang masing-masing mempunyai fungsi, wewenang dan kedudukan yang berbeda. Adanya pembagian itu sebenarnya delegasi kekuasaan daripada rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Tentang asas demokrasi dengan system perwakilan yang representative di Indonesia, selain tertuang di dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945, tertuang juga dalam pancasila.Perlu ditekankan bahwa pancasila adalah merupakan dasar negara republik Indonesia yang harus menjadi sumber atau dasar utama dari setiap peraturan yang ada di Indonesia, termasuk juga dalam UUD 1945.Pancasila menegaskan di dalam sila IV bahwa dasar negara yang keempat adalah “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusawaratan/perwakilan”.Redaksi sila IV ini jelas mengandung dan menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara Demokrasi atau kerakyatan dengan system perwakilan.Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 kemudian menjabarkan lebih terperinci tentang asas demokrasi ini.
Salah satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas negara hukum, demikian juga Indonesia yang dengan telah memilih bentuk demokrasi yakni dengan ketentuan terletaknya  kedailatan di tangan rakyat.
Sebagai ciri pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak  asasi manusia. Seperti yang kita temui dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu dalam pembukaan alinea I kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian alinea ke IV kemanusiaan yang adil dan beradap, kemudian dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara didalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan yang layak) pasal 28 (jamianan kemerdekaan untuk berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat).
Sebagai ciri yang kedua dari negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memiahak, dapat dilihat pada pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung  dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Sebagai ciri yang ketiga dari negara hukum adalah legaliatas dalam arti hukum segala bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga negara, baik penguasa maupun rakyat biasa haruslah dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam UUD 1945 sehinga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan. Yang menjadi permasalahan adalah pelaksanaan di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.
C.     Amandemen dalam praktek konstitusi
Disebut politik hukum amandemen karena wewenang mengubah konstitusi adalah masalah hukum yang mengandung aspek politik.Tentunya, sebagaimana disinggung sebelumnya, memperbincangkan problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat untuk terus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran akar konstitusionalisme.Dengan begitu, politik hukum amandemen jangan hanya sekadar perdebatan neo-institusionalis yang bias instrumentalis, apalagi cuma mengedepankan kepentingan golongan dan pragmatis.
Memang, tidak ada konstitusi yang selalu sempurna di dunia ini.Itu sebabnya, sah-sah saja siapapun berkeinginan untuk perubahan UUD 1945, sepanjang konstruksi berfikirnya didasari pada semangat memperkuat konstitusionalisme Indonesia.Jaminan hukum atas kebebasan dan hak-hak dasar warga negara, pertanggungjawaban negara secara progresif dalam menjalankan mandat konstitusional, serta berhentinya praktek pelanggaran hak asasi manusia maupun kesewenang-wenangan lainnya, adalah pertanda bekerjanya kekuatan konstitusionalisme.Semangat mengemban prinsip, ide serta gagasan demikianlah yang harus melekat dan jauh lebih penting pada sistem pembentukan hukum dan penegakannya di tengah karut marut bangsa.
pemikiran sederhana yang tertuang dalam kertas posisi ini tidaklah mencukupi luasnya arena dan kedalaman perdebatan perubahan konstitusi dalam pelbagai dimensi, karena sedari awal kertas posisi ini ditujukan semata untuk berkontribusi perubahan konstitusi yang sifatnya amandemen, sehingga fokusnya pada pokok-pokok terpenting dalam gagasannya. Meskipun demikian, apa yang dirasakan penting dalam pemikiran ini semoga memberikan manfaat untuk perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
Perubahan politik
politik hukum yang terkait dengan menjaga hubungan kekuasaan yang seimbang, sinkron dan harmonis dengan menerapkan mekanisme check and balance system. Politik hukum ini bukanlah semata disandarkan pada teks konstitusi, namun juga sangat bergantung pada komitmen pelaksanaan konstitusi penyelenggara negara untuk tidak mementingkan organ kekuasaannya sehingga menjadi lebih dominan.
Dalam membentuk tata hukum Indonesia yang baru, GBHN telah merumuskan politik hukum yang harus didikuti oleh pembuat undang-undang negara dan landasanya pun  teleh di berikan yakni pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan landasan idil dan Konstitusional  serta politik hukum yang di tetapkan, ingin dibentuk suatu system hukum nasional yang memiliki wawasan kebangsaan Indonesia, perlu didefinisikan asas-asas yang melendasi hukum nasional.
Di sini tampak bahwa adanya kehendak penguasa bahwa kehidupan dinegeri ini baik di bidang politik, ekonomi, social, maupun kebudayaan harus diatur demikian rupa sehingga menjamin diwujutkanya filsafat pancasila dalam seluruh kehidupan bangsa.
Dipandang dari derajatnya, Undang-Undang  dasar lebih tinggi dari undang-undang biasa. Perbedaan antara Undang-Undang dasar dan undang-undang biasa dapat dinyatan sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar dibentuk menurut sesuatu cara yang istimewa.
b.      Karena dibuat secara istimewa, maka Undang-Undang Dasar dapat dianggap sesuatu yang luhur.
c.       Undang-Undang Dasar memuat dalam garis besar tentang dasar dan tujuan negara. Apa yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar selanjutnya akan di selenggarakan oleh undang-undang biasa.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang tinggi dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia. Oleh karena itu semua peraturan perundang-undangan  dibawah Undang-Undang Dasar tidak boleh bertentangan dengan dan merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam peraktek banyak kejanggalan yang ditemukan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya yaitu Undang-Undang Dasar 1945 berada pada kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang yang dibawah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar sering di jadikan tameng utamama dalam peraktek pemerintahan, Undang-Undang Dasar juga menjadi jalan yang sangat aman untuk melakukan praktek politik dalam pemerintahan banyaknya celah yang terdapat dalam UUD 1945 mengakibatkan semakin mudahnya dan leluasanya para penguasa memanfaatkan UUD sebagai senjata ampuh.
UUD 1945 setelah dekrit presiden 1959 sudah merupakan konstitusi tetap atau masih bersifat sementara. Assaat (1951) dan juga Ranawijaya (1983:134) berpendapat bahwa selama belum ada penetapan MPR berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUD 1945 masih berlaku sebagai konstitusi sementara, sehingga sebelum MPR melekukan perubahan terhadap UUD 1945 atas dasar Pasal 37 seharusnya MPR hasil pemilihan umum (pemilu) menetapkan dulu UUD 1945 sebagai UUD tetap. Sedangakan Simorangkir (1984:149-155) berpendapat bahwa UUD 1945 pasca dekrit Persiden 1959 sudah merupakan UUD atau Konstitusi tetap dengan merujuk tujuan diperlukanya Dekrit yang sebelumya pemerintah telah meminta badan Konstituante untuk menetapkan berlakunya UUD 1945 sebagai UUD tetap setelah badan Konstituante gagal menyepakati UUD baru menggantikan UUDS 1950, dan selain itu berbagai ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang diperlukan selama Orde baru secara implicit menganggap UD 1945 sebagai UUD tetap, bahkan ingin dilestarikan. Juga ralitas politik selama 40 tahun (1959-1999) sudah melakukan penerimaan diam-diam bahwa UUD 1945 merupakan kostitusi tetap.
Alasan Filosofis, dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham Integralistik, antara faham Negara hokum dengan faham Negara kekuasaan (Nasution: 1993).
Alasan teoristis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi sebagai suatu Negara hakektanya adalah untuk mengatasi kekuasaan Negara agar tidak bertindak sewenag-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian. (Mahasin, 1979).
Alasan politis praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktek politik sebenarnaya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dari teks aslinya, baik masa 1945-1949 maupun masa 1459-1998, seperti terjadi perubaha system pemerintahan dari presidensil ke system parlementer (tahun 1946), penetapan Soekarno oleh MPRS sebagai peresiden seumur hidup (ketetapan  MPRS No.III/MPRS/1963), yang berarti menyimpang/merubah ketentuan pasal 7 UUD 1945, dan digunakan nya mekanisme referendum untuk merubah UUD 1945 (ketetapan MPRS No. IV/ MPRS/1983jo. UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum) yang berarti telah menyimpang/merubah ketentuan pasal 37 UUD 1945.  



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penulisan makalah dan pengkajian dari berbagai macam artikel, buku dan beberapakali terjadinya amandemen maka disimpulkan bahwa Undang-Undang dasar 1945 bukan hanya sebagai landasan hukum dalam Negara Republik Indonesia melainkan juga sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan yang adil, namun masih terdapat banyak celah yang memungkinkan untuk di manfaatkan sebagai sarana politik bagi golongan atau kelompok tertentu demi mencapai tujuan dalam menjalankan peroses pemerintahan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mempunyai makna yang sangat luas dan fleksibel tidak memandang golongan, kelompok atau perseorangan mempunyai sifat yang universal.

B.     Saran

adapun saran yang dapat diberikan penulis untuk melengkapi makalah ini, maka ada beberapa hal masukan yang akan di uraikan penulis yaitu:
1.      Perlunya dilakukan pengaturan mengeni penempatan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan hukum dalam menjalankan pemerintahan.
2.      Perlu dilakukan pengaturan secara koenferhensif mengenai ketentuan pokok Undang-Undang Dasar 1945 kuhususnya mengenai peran lembaga-lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan, dan ketentuan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam lembaga-lembaga negara.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Konstitusi perss, Citra media. Yogyakarta.
Denny Indrayana. 2007. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. PT Mizan Media Utama (MMU). Bandung
Dr. Anthon F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum. GENTA PUBLISHING, Yogyakarta.
Fajar Laksono Dan Subardjo. 2006. Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden. UII Press. Yogyakarta.
H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Hj. Ni’matul Huda. 2012. Teori dan Hukum Konstitusi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Moh. Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Moh. Mahfud MD.2010. Perdebatan hukum tatanegara Pasca Amandemen konstitusi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soediman Kartohadiprodjo. 1982. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. PT. Pembangunan, Gahalia Indonesia. Jakarta Timur.
Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.






No comments: