BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Realitas pelayanan publik yang berlangsung di Indonesia telah menjadi topik
pembahasan menarik yang telah banyak dikaji oleh berbagai bidang kajian.
Kajian-kajian yang menaruh minat terhadap pembahasan topik tersebut meliputi
bidang kajian administrasi dan kebijakan publik, politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Sejumlah hasil penelitian yang mencoba membahas realitas tersebut
dilakukan dalam beragam cara pandang, cara mengkaji, serta cara menganalisis
yang berbeda-beda sebagai konsekwensi dari mekanisme kerja ilmu pengetahuan
yang menganut ketaatan pada teori dan metodologi. Beragam cara pandang serta
cara menganalisis realitas sosial tersebut merupakan cara-cara ilmu pengetahuan
dalam melahirkan obyek pengetahuan baru dalam mengakumulasi bentuk-bentuk
informasi yang ditemukan di lapangan, yang dilakukan secara teoritis dan
metodologis oleh para penelitinya.
Pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter dan
sentralistik menuju ke sistem pemerintahan yang demokratis. Dan juga tengah
menerapkan perimbangan urusan/ kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan
yang terjadi tersebut menuntut terbentuknya pemerintahan yang bersih dan
tranparan, dalam mengeluarkan berbagai kebijakan publik yang menguntungkan
semua rakyat. Pada dasarnyagoverment memiliki arti atau berkonotasi
baik, karena keberadaannya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dalam
mengatur dan memfasilitasi kegiatan/ program pemerintahan umum dan pembangunan.
Goverment menjadi baik atau buruk dikarenakan governance-nya (tata
kepemerintahannya), karena itu muncul istilah good governace (tata
kepemerintahan yang baik) dan sebaliknya muncul istilah bad governance (tata
kepemerintahan yang buruk).
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai rencana tindakan negara atau
pemerintah, yang akibat-akibat konstruktif atau destruktifnya secara langsung
berpengaruh kepada masyarakat luas. Hal ini dikarenakan perencanaan tindakan
negara atau pemerintah disusun mulai dari kebijakan nasional sampai ke
kebijakan di daerah (dalam bentuk stratifikasi politik kebijakan nasional),
sehingga semua komponen masyarakat menerima pengaruh pelaksanaan kebijakan itu.
Pembuatan kebijakan publik yang berbagai macam jenisnya, mencerminkan
artikulasi aspirasi rakyat, pada saat ini selalu diupayakan untuk bersifat
demokratis, dimana rakyat diberi ruang untuk menyuarakan kepentingan/
kebutuhannya. Dengan demikian pihak policy maker selaku
pembuat kebijakan mendapatkan legitimasi yang semakin kuat, untuk melaksanakan
berbagai kebijakan/ keketapan/ keputusan.
Namun ketika para pengambil kebijakan memperoleh kesempatan untuk
membangun, disinilah terdapat celah-celah yang bisa dimasuki oleh oknum
policy maker sebagai pelaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Celah
semacam inilah yang bisa jadi menghambat pencapaian kesejateraan untuk
masyarakat luas, terutama pemberantasan kemiskinan dan penyediaan lapangan
kerja.
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan
bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public
policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati
dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan
masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R.,
2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai
kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum.
Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh
dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu
untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus
dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika
kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah
menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum
yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah,
mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan
bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut
mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya
tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus
bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai
public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa
untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001:
371 – 372):
bahwa kebijakan adalah
suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang
diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha
2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan
berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan
terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan
secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan
konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy
has a particular status in the rational model as the relatively durable element
against which other premises and actions are supposed to be tested for
consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem
nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga
yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam
dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan
kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model
kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental,
model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model
pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan
organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of
Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang
memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan
pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33)
dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1.
Kebijakan umum, yaitu kebijakan
yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif
ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi
yang bersangkutan.
2.
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat
pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3.
Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan
dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya
mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn
(William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy
Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan
terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika
pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian
secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan
tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik
digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan
publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh
aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan
pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan
kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated
decisions taken by a political actor or group of actors concerning the
selection of goals and the means of achieving them within a specified situation
where these decisions should, in principle, be within the power of these actors
to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara
ketika public actor mengkoordinasi
seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang
dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M.
Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi
negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini
merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan
dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan
Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana
untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku
“Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh,
Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik
biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata
strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk
kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama.
Diperlukan pula nilai-nilai yang dapat dianut atau dijadikan pegangan oleh
pemerintah daerah untuk menerjemahkan setiap kebijakan yang harus
diimplementasikan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dengan
memperhatikan latar belakang tersebut,agar dalam penulisan ini penulis
memperoleh hasil yang di inginkan,maka penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah.Rumusan masalah itu adalah :
1. Apakah peyelengaraan
kebijakan publik melalui good governance akan
menghasilkan sistem pemerintahan dan kesejatraan masyarakat yang baik.?
2. Bagaimanakah pemerintah
menyikapi kebijakan publik dengan berbagai persoalan publik ?
C.
TUJUAN
Adapun
tujuan dari rumusan masalah dalam makalh ini adalah:
1. Untuk mengetahui peyelengaraan kebijakan
publik melalui good governance oleh pemerintah
2.Untuk mengetahui sejauhmana
peran pemerintah dalam berbagai persoalan publik
D.
MANFAAT
Manfaat
yang di dapat dari makalah ini adalah :
1. Mahasiswa
dapat mengetahui tentang fungsi pemeritah dalam penyelenggaraan good governance
2. Kita
dapat mengetahui peran pemerintah dalam menanggapi persoalan governance
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kebijakan Publik
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus
dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai
sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan
kebutuhan dasar masyarakat.Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.
Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses
berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan
suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan
pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan
oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai wewenang. Seiring
dengan perkembangan, fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu fungsi
pemerintah hanya membuat dan mempertahankan hukum, akan tetapi pemerintah tidak
hanya melaksanakan undang-undang tetapi berfungsi juga untuk merealisasikan
kehendak negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice).
Perubahan paradigma pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya
pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat.
Kebijakan publik menurut para ahli pengertiannya (Didi Marzuki -Editor,
2006, h 24-25) sebagai berikut :
Jemes E. Anderson (1979) mengatakan Public Policies are those policies
developed by governmental bodies and officials, dapat diartikan bahwa
Kebijakan Publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan
dan pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan yang dibuat ini juga memerlukan
kontribusi seluruh stakeholders terkait isu kebijakan yang hendak dipecahkan
untuk tujuan kepentingan masyarakat/ publik. Implikasi dari kebijakan publik
ini adalah berorientasi pada tujuan/ maksud tertentu, berisi pola-pola tindakan
pemerintah/ pejabat, memiliki sifat memaksa (otoritatif). Sebagai misalpemakaian
helm standar SNI bagi pengendara sepeda motor, kepemilikan NPWP bagi seluruh
penduduk Indonesia yang bekerja maupun yang sudah pensiun, pengenaan pajak bumi
dan bangunan (PBB) bagi seluruh penduduk yang memiliki tanah dan bangunan.
David Easton (1953) mengatakan Public Policy is the authoritative
allocation of values for whole society,dapat diartikan bahwa Kebijakan
Publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara syah kepada seluruh anggota
masyarakat. Kebijakan yang dibuat ini bertujuan untuk mendistribusikan berbagai
nilai sesuai kewenangan yang dimiliki pemerintah, dari pemerintah pusat sampai
ke pemerintah daerah/ lokal.
Thomas R Dye mengatakan : Public Policy is whatever the government choose
to do or not to do, dapat diartikan bahwa Kebijakan Publik adalah
apapun pilihan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan sesuatu atau tidak
melaksanakan sesuatu, yang masing-masing pilihan memiliki alasan dan tujuan
tersendiri. Hal ini termasuk ketika pemerintah memilih tidak
melakukan sesuatu, misalnya angkutan becak, pemerintah kota
Semarang sampai hari ini tidak melarang angkutan becak mencari penumpang di
jalan-jalan besar ataupun di tempat-tempat lain di wilayah kota Semarang. Berbeda
dengan kota Jakarta yang telah lama memberlakukan larangan angkutan becak di
wilayah ibukota.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai mana tercantum dalam pasal 10, 13, dan 14
yang membuat pembagian urusan/ kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan pemerintah kota/ kabupaten, maka berbagai urusan/ kewenangan tersebut
seperti berikut ini.
·
Urusan pemerintah
pusat (pasal 10 ayat (3)) meliputi :
1.
Politik Luar Negeri
2.
Pertahanan
3.
Keamanan
4.
Yustisi
5.
Moneter dan Fiskal
Nasional Agama
·
Urusan pemerintah
provinsi (pasal 13 ayat (1)) meliputi :
1.
Perencanaan dan
pengendalian pembangunan
2.
Perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3.
Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4.
Penyediaan sarana dan prasarana
umum
5.
Penaganan bidang
kesehatan
6.
Pengendalian lingkungan
hidup
7.
dst
·
Urusan pemerintah
kota/kabupaten (pasal 14 ayat (1)) meliputi :
1.
Perencanaan dan
pengendalian pembangunan
2.
Perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3.
Penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat
4.
Penyediaan sarana dan
prasarana umum
5.
Pengendalian bidang
kersehatan
6.
Penyelenggaraan
pendidikan
7.
Penanggulangan masalah
sosial
8.
Pelayanan bidang
ketenaga kerjaan
9.
Dst.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan (pasal14 ayat (2)) meliputi
urusan pemerintah yang bersifat nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejatraan masyarakat, sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan, antara lain pertambangan, perikanan, perkebunan, kehutanan,
dan pariwisata.
George Edwards III (1980) mengungkapkan
ada empat faktor dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik yaitu:
1.
Komunikasi
2.
Sumber daya
3.
Disposisi atau
perilaku
4.
Struktur Birokratik
Keempat faktor tersebut secara simultan
bekerja dan berinteraksi satu sama lain agar membantu proses implementasi atau
sebaliknya menghambat proses implementasi. keempat faktor tersebut saling
mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung keefektifan implementasi
kebijakan.
Sementara menurut Maarse (1987),
Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari kebijakan yang harus
dilaksanakan dimana isi yang tidak jelas dan samar akan membingungkan para
pelaksana di lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda. Kemudian
ditentukan pula oleh tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam
pelaksanaan sehingga pelaksana dapat bekerja optimal. Lalu ditentukan juga oleh
banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian
dari potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi wewenang dalam struktur
organisasi.
Atas dasar hal tersebut, dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah harus memperhatikan
bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi perlu diperhatikan
sehingga tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara isi kebijakan yang
diberikan oleh pusat dengan persepsi aparat pelaksana di daerah. Diperlukan
pula dukungan sumber daya maupun stakeholders yang terkait dengan proses
implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan pula pembagian tugas maupun
struktur birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak terjadi ketimpangan
tugas dalam proses implementasi suatu kebijakan di daerah.
Untuk memahami kedudukan dan peran yang
strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik
maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu
kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat.
Tata laksana pemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik
swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang
baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi
sempurna – namun, apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan
kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional,
seperti IMF dan Bank Dunia, mensyaratkan diberlakukannya
unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan
pinjaman yang akan mereka berikan.
Good Governance dalam Hukum Administrasi Negara
Gagasan tentang
penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat
dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa
Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara
paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri
selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya
terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada
bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh
seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai
kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat
bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus
senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan,
kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan
kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan
alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa
merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh
raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan
negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum
yang baik.
Berdasarkan pendapat
Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum
merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN
dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan
terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari
hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran
apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN
dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan
pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN
memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau
sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah
untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan
melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut
hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai
norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.
Pembangunan Hukum Administrasi Negara
merupakan prasyarat dalam Pembangunan Administrasi Negara untuk menciptakan
Good Governance. Dalam kaca mata administrasi negara, reformasi administrasi
adalah pembenahan sejumlah kebijakan hukum yang terkait dengan struktur, proses
dan manajemen baik dalam bidang keuangan, pengawasan, sumber daya manusia
aparatur, akuntabilitas dan transparansi serta proses pembuatan kebijakan dan
implementasinya. Reformasi administrasi negara berarti pula reformasi dalam
bidang hukum administrasi negara. Karena tidak ada reformasi administrasi yang
berjalan tanpa adanya reformasi dalam bidang hukum administrasi.
Arah pertumbuhan dan perubahan sistem yang
harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara harus meliputi sejumlah
penyempurnaan berbagai macam peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya.
Perubahan yang harus dilakukan mulai dari HAN yang bersifat sektoral maupun HAN
yang bersifat lintas sektoral. Diantara HAN yang bersifat lintas sektoral
adalah penyusunan Prosedur Pembuatan Keputusan, peraturan Penyerahan Keputusan,
Peraturan Penegakkan Keputusan dan Peraturan Mengenai Biaya dan Ganti Rugi.
Secara lintas sektoral pembangunan HAN berarti pula pembangunan peraturan
mengenai proses dan manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur, sistem pengawasan,
sistem pengelolaan keuangan dan lain-lainnya.
B.
Perwujudan
Good Governance
Secara umum, Good Governance adalah pemerintahan yang
baik. Dalam versi World Bank, Good
Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal
ini bagi pemerintah maupun swasta di Indonesia ialah merupakan suatu terobosan mutakhir dalam menciptakan
kredibilitas publik dan untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal.
Good Governance diIndonesia sendiri
mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang
dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang
menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak
diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan
Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya.
Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan
akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Akan tetapi, Hal
tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan
pemerintah dalam menciptakan iklim Good
Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi
informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan
pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi
acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak
lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga –
lembaga penunjang pelaksanaan Good
governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika
dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir
pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan
sebagai agent of development bukannya
sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat
menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Prinsip-
Prinsip Good Governance
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia
yang sedang berjuang dan mendambakan terciptanya good governance. Namun,
keadaan saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut masih sangat jauh dari harapan.
Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar
kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah
yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Untuk mencapai
good governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good
governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting pemerintahan.
Dengan melaksanakan prinsip-prinsip good governance maka tiga pilarnya
yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil hendaknya saling menjaga,
saling support dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
sedang dilakukan
Kunci utama memahami good governance adalah
pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini
akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan
bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip
good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good
governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1.
Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan,
baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang
mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka
hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya
hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparansi
Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau.
4.
Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga
dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang
berkepentingan.
5.
Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang
berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik
bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.
Kesetaraan
Semua
warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka.
7.
Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8.
Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor
swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk
pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis
organisasi yang bersangkutan.
9.
Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
Kaitan Prinsip-Prinsip Good Governance
dalam Pelayanan Publik
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan
mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance
di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa
pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai
menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap
penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik,
unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan
penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat
mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja
pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga,
dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang
selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah
dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan
sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele,
ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit
dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi
ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga
masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara
tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan
publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang
diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga
Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para
pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama
ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik
dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun
keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan
konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya
publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa
pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan
rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di
negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar,
permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
1.
Reformasi
birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2.
Tingginya
kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3.
Masih
tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih
lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.
Makin
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.
Meningkatnya
tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain
transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.
Meningkatnya
tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan
dalam era desentralisasi;
7.
Rendahnya
kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan
(organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum
memadai;
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam buku van
walt yang berjudul changing public services values mengatakan bahwa para
birokrat bekerja dalam sebuah bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong
oleh sejumlah nilai. nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala
aktivitas birokrasi saat memberi pelayanan publik.
Terkait dengan pernyataan tersebut ada beberapa nilai
yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain suatu naklumat
pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni:
1.
Kesetaraan
2.
Keadilan
3.
Keterbukaan
4.
Kontinyuitas
dan regualitas
5.
Partisipasi
6.
Inovasi
dan perbaikan
7.
Efesiensi
Dengan metode tersebut penerapan prinsip good
governance dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip
good governance yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut
keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan
birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan
pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang
baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang
baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus
masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik
(khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi
prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di
Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis
dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan
pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan
good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga
dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap
kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan
kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government
(pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan
senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta
dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan
atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule
government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan
prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah
daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses
merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan stakeholder
(pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).
Pendidikan, Kesehatan
dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus
diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat
ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi,
kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak
jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh
institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih
terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi
yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat.
Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
a.
Kebijakan dan keputusan yang cenderung
menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
b.
Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan
sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
c.
Kecenderungan masyarakat yang
mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh
pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
d.
Adanya sikap-sikap pemerintah yang
berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses
formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.
Terdapat 3 unsur
penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi
pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua,
adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi
yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan
dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
1.
Unsur
pertama menunjukkan bahwa
pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan
sebagaipemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam
memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh
orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah
yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang
dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan
menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.
2.
Unsur
kedua, adalah orang,
masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan
(penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam
posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk
mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya
komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan
mewabahnya Pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan.
3.
Unsur
ketiga, adalah kepuasan
pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian
penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan
publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui
upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.
C.
Eksistensi Good Governance di Indonesia
Eksistensi pemerintahan yang baik atau
yang sering disebut good governance yang selama di elukan-elukan faktanya saat
ini masih menjadi mimpi dan hanyalah sebatas jargon belaka. Indonesia harus
segera terbangun dari tidur panjangnya. Revolusi disetiap bidang harus
dilakukan karena setiap produk yang dihasilkan hanya mewadahi kepentingan
partai politik, fraksi dan sekelompok orang. Padahal seharusnya penyelenggaraan
negara yang baik harus menjadi perhatian serius. Transparansi memang bisa
menjadi salah satu solusi tetapi apakah cukup hanya itu untuk mencapai good
governance.
Sebagai negara yang menganut bentuk
kekuasaan demokrasi. Maka “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar” seperti disebutkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat
(2). Negara seharusnya memfasilitasi keterlibatan warga dalam proses kebijakan
publik. Menjadi salah satu bentuk pengawasan rakyat pada negara dalam rangka
mewujudkan good governance. Memang akan melemahkan posisi pemerintah.
Namun hal itu lebih baik daripada perlakukan otoriter dan represif pemerintah.
Penyakit magnetis atas materi yang saat
ini menjangkiti setiap oknum pejabat dalam pemerintahan masih belum bisa
disembuhkan. “Korupsi” yang bahkan beberapa kalangan sebagai budaya hidup
pejabat pemerintahan masih saja eksis dan malah meningkat. Lalu bagaimana
dengan eksistensi good governance dalam menangani korupsi tersebut. Prinsip
kedaulatan berada ditangan rakyat seolah hanya sebatas goresan hitam diatas
kertas konstitusi. Banyak tindakan dan langkah yang ditempuh pemerintah tanpa
memikirkan kondisi dan memberika rakyat untuk ikut berpartisipasi. Asumsi
demokrasi adalah otoritas yang terletak di tangan rakyat maka masyarakat
memiliki hak untuk ikut serta dan tahu tujuannya. Produk hukum dan penegakan
hukum tersebut belum memberikan hak itu sampai saat ini. Perlu dilakukan
pembentukan susunan politik yang memungkinkan ruang untuk kelompok yang berbeda
dalam masyarakat sipil untuk bergabung dalam proses kebijakan publik. Good
Governance adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang
baik. Namun saat ini Indonesia masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi
terwujudnya good governance tersebut.
Perlu pengawasan terhadap pemerintah dalam
setiap kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan. Untuk meningkatan
pelayanan publik dan kinerja pemerintah dalam menegakkan hukum. Dimana tujuan
hukum itu sendiri menurut Gustav Radbruch adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Maka demi terjaminnya eksistensi good governance di Indonesia
maka pemerintah dalam menjalankan pemerintahan haruslah bersih sebagai telah
diwujudkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Namun dengan berbagai langkah yang
telah ditempuh, cita-cita good governance masih belum dapat direalisasikan.
Maka perlu pengkajian lebih dalam terhadap faktor yang mendasari hal itu bisa
terjadi dan mencari formula yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Juga sebagai wujud langkah preventif dari masalah yang lebih berat daripada
masalah yang saat ini dihadapi Indonsia.
Makna dari governance
dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-undang (UU).
Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan,
penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan
tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu
sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi
pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang
dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif. Sedangkan good governance adalah
tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik,
bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Clean
government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah
tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment
berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk
dalam makna proses pemerintah.
Istilah good governance
lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi.
Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap
kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga
legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus
dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu
UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas Umum
Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB).
Good governance sebagai
upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik maka harus memiliki beberapa bidang
yang dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai, yang meliputi:
1. Politik
Politik merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti:
Politik merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti:
§ UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan
pemerintahan maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk mendukung
terwujudnya good governance. Konsep good governance itu dilakukan dalam
pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR,
kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan
pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
§ Perubahan UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan
mencerminkan keterwakilan rakyat.
§ Reformasi agraria dan perburuhan
§ Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI
§ Penegakan supremasi hukum
2. Ekonomi
Ekonomi Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera .
Ekonomi Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera .
3. Sosial
Masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut.
Masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut.
4. Hukum
Dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Karena good governanance tidak akan dapat berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Karena good governanance tidak akan dapat berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
D. Peningkatan Pelayanan Publik
Dalam menjalankan fungsinya hukum memerlukan berbagai
perangkat agar memiliki kinerja yang baik. Salah satu kinerja hukum yang
membedakan dengan kaidah lainya adalah bahwa hukum yang memiliki kaidah yang
bersifat memaksa. Artinya apabila azas dan kaidah hukum ditungkan dalam sebuah
peraturan perundang-undangan, maka setiap orang diharus kan untuk melaksanakan
nya.
Dalam pembahasan mengenai pelayanan publik. Konsep
pelayanan publik dalam penegakan hukum, di mulai dari konsep Lawrence M.
Friedmen tentang tiga unsur sistem hukum, yaitu:
a.
Struktur
hukum, yakni kerangka ataurangkaian dari hukum itu sendiri
b.
Subtansi
hukum, yakni aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem
hukum
c.
Kultur
hukum, yakni sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang didalamnya
terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.
Selanjutnya menurut
Soerjono Soekanto, penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor itu mempunyai arti netral, sehingga dampak
positif maupun negatifnya terletak pada supstansi atau isi faktor tersebut.
Adapun faktor tersebut adalah:
a.
Faktor
hukumnya sendiri;
b.
Faktor
penegak hukumnya;
c.
Faktor
sarana;
d.
Faktor
masyarakat;
e.
Faktor
kebudayaan;
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat satu sama
lainya, oleh karena itu faktor tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum,
juga meruipakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Selanjutnya ditarik faktor yang memberikan suatu
kesimpulan dalam dalam mendukung pelayanan publik adalah:
a.
Faktor
Hukum
Hukum akan mudah di tegakan, jika aturan atau
Undang-undangnya sebagai sumber hukum mendukung untuk terciptanya penegakan
hukum. Artinya, peraturan perUndang-Undangannya sesuai dengan kebutuhan untuk
terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik. Kemudian suatu aturan atau
undang-undang dapat dikatakan bisa menjadi sumber hukum dan kemudian di
tegakan, jika undang-undang itu harus berada dalam azas-azas sebagi berikut :
1). Undang-undang tidak boleh berlaku surut. Artinya
Undang-undang hanya boleh di terapkan pada peristiwa yang disebut dalam
Undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang tersebut berlaku;
2). Undang-undang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi, mempunyai kedudukan lebih tinggi pula.
3). Undang-undang yang bersifat kusus mengesampingkan
undang-undang yang bersifat umum.
4). Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang-undang yang berlaku terdahulu
5). Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
b.
Faktor
Aparatur Pemerintah
Aparatuur pemerintah merupakan salah satu faktor dalam
terciptanya peningkatan dalam pelayanan publik. Oleh karena aparat pemerintah
merupakan unsur yang bekerja di dalam praktik untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Maka secara sosiologis aparat pemerintah mempunyai kedudukan atau
peranan dalam suatu pelanan publik yang maksimal.
c.
Faktor
Sarana
Penyelenggaraan pelayanan publik tidak akan
berlangsung dengan lancar dan tertib (baik)
jika tanpa adanya sarana atau fasilitas yang mendukungnya. Sarana itu
mencakaup tenaga manusia yang berpendidikan, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, dan keuangan yang cukupjika hal-hal yang demikian itu tidak
terpenuhi maka mustahil untuk mencapai pelayanan publik yang baik atausesuai
harapan.
Meskipun faktor-faktor hukum, aparat penegak hukum dan
kesadaran hukum masyarakat sudah dapat di penuhi dengan baik, namun jika
fasilitas yang tersedia kurang memadai, niscaya tidak akan terwujud suatu
pelayanan publik yang baik.
d.
Faktor
Masyarakat
Pada intinya penyelenggaraan pelayanan publik
diperuntukan untuk masyarakat, dan oleh karenanya masyarakatlah yang memerlukan
berbagai pelayanan dari pemerintah penguasa. Dan dengan kata lain masyarakat
memeiliki eksistensi dalam pelayanan, karena dalam konteks kemasarakatan
pelayanan publik berasal dari masyarakat (publik) dimana tujuan utamanya adalah
untuk tercapainya kesejatraan masyarakat seutuhnya. Oleh karena itu dipandang
dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi terciptanya pelayanan publik
yang baik. Artinya masyarakat harus mendukung terhadap kegiatan peningkatan
pelayanan publik yang di aktualisasikan melalui kesadaran hukum
e.
Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan merupakan faktor yang hampir sama dengan
faktor masyarakat. Jika melihat dari sistem sosial budaya, negara Indonesia
sendiri memiliki masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam karakteristik.
Perlu disadari bahwa obyektifnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak
bisa di sama ratakan karena memiliki perbedaan karakteristik pada masing-masing
masyarakat di setiap daerahnya. Faktor kebudayaan dalam terciptanya
peyelenggaraan pelayanan publik yang baik pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstarak
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Indonesia adalah salah
satu negara didunia yang sedang berjuang dan mendambakan clean and good
governance. Namun keadaan saat ini menunjukkan jelas hal tersebut masih sangat
jauh dari harapan. Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja
diluar kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa
masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai.
Masyarakat dan pemerintah masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah
tersebut. Justru seharusnya menjalin harmonisasi dan kerjasama mengatasi
masalah-masalah yang ada.
Hukum yang menjadi alat
negara menjalankan pemerintahan, membatasi ruang gerak pemerintah dan
masyarakat. Hukum juga sebagai instrumen merealisasikan setiap kepentingan
individu yang tercover dalam kepentingan rakyat. Karena negara terbentuk
oleh rasa kebersamaan dan kesatuan setiap individu yang mendorong terbentuknya
negara. Untuk menyelenggarakan negara dipilih orang-orang yang diangggap
terbaik dari setiap person yang ada untuk menjadi pejabat negara. Pejabat yang
akan menjalankan pemerintahan dan menjadi wadah setiap individu dalam
masyarakat. Pejabat negara yang akan membuat negara tetap eksis dan berkembang
untuk mencapai good governance. Demikian juga dengan Indonesia yang masih
berjuang mencapainya.
Pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik
Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejatraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi
kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung
terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa
publik, dan pelayanan administratif.
SARAN
Berbagai permasalahan
nasional menjadi alasan belum maksimalnya good governance. Dengan melaksanakan
prinsip-prinsip good governance maka tiga pilarnya yaitu pemerintah, korporasi,
dan masyarakat sipil saling menjaga, support dan berpatisipasi aktif dalam
penyelnggaraan negara proses yang sedang dilakukan. Terutama antara pemerintah
dan masyarakat menjadi bagian penting tercapainya good governance. Tanpa good
governance sulit bagi masing-masing pihak untuk dapat saling berkontribusi dan
saling mengawasi. Good governance tidak akan bisa tercapai apabila integritas
pemerintah dalam menjalankan pemerintah tidak dapat dijamin. Hukum hanya akan
menjadi bumerang yang bisa balik menyerang negara dan pemerintah menjadi lebih
buruk apabila tidak dipakai sebagaimana mestinya. Konsistensi pemerintah dan
masyarakat harus terjamin sebagai wujud peran masing-masing dalam pemerintah. Setiap
pihak harus bergerak dan menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
No comments:
Post a Comment