BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan
ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa
filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum).
Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal
ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu
dari filsafat.
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja
dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari
ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan
ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral.
Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah
bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak
dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian
filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu
memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan
ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap
ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu.
Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing
ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu
pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat.
Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah
apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini
dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang
sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan
dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan
rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan
memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu
kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran
cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan
yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan
pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir
rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat
dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan
jawaban sementara.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan masalah masalah
yang akan dibahas pada penulisan kali ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah
pengertian Filsafat itu?
2. Peran
filsafat ilmu dalam ilmu Pengetahuan
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari rumusan masalah dalam makalh
ini adalah:
1.Untuk
mengetahui kaitan antara filsafat Ilmu dan peran filsafat ilmu dalam ilmu
pengetahuan
2.Untuk mengetahui manfaat
mempelajari filsafat Ilmu
D. MANFAAT
Manfaat yang di dapat dari
makalah ini adalah:
1. Mahasiswa
dapat menambah pengetahuan tentang Filsafat ilmu
2. Mahasiswa
dapat mengetahui tentang fungsi filsafat Ilmu menurut teori
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu
Pengetahuan
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta
definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai
definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan
itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan penggolongan
(klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan
yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu
(Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized
knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad
ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau
inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti
metafisika.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli
seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah :
- Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu
golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak
dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
- Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan
ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya
serentak.
- Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau
keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan
istilah yang sederhana.
- Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan,
studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang
sedang dikaji.
- Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan
akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode
pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh
panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara
menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu
proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
- Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang
alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep,
katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan
pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal
prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar
pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam
hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar.
Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak
teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and
error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran
akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi
sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini
sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni
sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian
diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang
masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum
tersusun dengan baik.
B.
Filsafat
Pada awalnya yang pertama muncul
adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga
dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater
scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu
seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini
menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Kata falsafah atau filsafat dari bahasa indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab , yang juga
diambil dari bahasa Yunani bahasa Yunani ; Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia
= persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata
filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan
sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa
“filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis. ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik
ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.Dewasa ini, kita
dapat melihat akan adanya dominasi ”cara berpikir”yang dilakukan oleh para
pemikir barat. Penguasaan tersebut telah menguasai hampir seluruh dunia; karena
barat telah berhasil mengembangkan teknologi, kebudayaan sekaligus peradabanya.
Bagi negara berkembang ketergantungan akan dominasi barat sangat kentara
sekali, apalagi dilihatdari kacamata filsafa, barat berhasil dalam
mengembangkan dan menanamkan ”cara berpikirnya”. Sebetulnya pemeikiran-pemikiran
barat pada hakekatnya berupa tradisi pemikiran yang diambil dan dilahirkan
dizaman Yunani kuno. Dengan kata lain, bahwa filsafat Yunani Kuno dimajukan
sebagai pangkal sejarah filsafat (pemikiran) Barat. Para ahli pada zaman itu,
mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari
pemikiranya bersifat mitologik (keteranganya didasarkan atas mitos dan
kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam
seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM),
herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir
lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah
kemegahanya.Sejak abad 5 SM, pemikiran filsafat beralih kearah manusia dengan
kemampuan berpikirnya, masa ini dikenal dengan masa antropologis. Masa ini
dokenal sederet ahli pemikir seperti Sokrates, Plato, Aristoteles. Pada Ahirnya
Filsafat membentuk ruang lingkup yang semakin luas serta dengan beraneka ragam
permasalahan. Pemikiran filsafati pada masa itu diartikan sebagai
bermacam-macam ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan dengan apa yang
dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa filsafat adalah segala sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan atas dasar akal pikiran, dan membagi filsafat menjadi
ilmu pengetahuan, poetis, ilmu pengetahuan tang praktis, ilmu pengetahuan yang
teoritis. Seorang filusuf dipandang cerdik dan pandai jika orang tersebut cinta
dan ingin selalu berteman dengan kebijaksanaan (Koentowibisono,
1982:3)Perkembangan filsafat hingga zaman Neoplatonisme (abad sesudah masehi)
mulai mengarah pada Tuhan (Teosentris) dan Tuhanlah yang menjadi dasar segal
galanya. Tuhan dan segala sesuatu menjadi hakekat yang sama, lebih dikenal
dengan ajaran Phanteisme (serba Tuhan).Mulai abad permulaan masehi,
perkembangan filsafat beralih ke Eropa.
Hal ini disebabkan kekuasaan kerajaan Roma
yang luas sekali. Pemikiran filsafat di eropa diwarnai dengan unsur-unsur baru
(Agama katholik). Unsur baru tersebut mendominasi pemikiran filsafat pada masa
itu. Dengan kata lain pemikiran filsafat didasarkan pada firman Tuhan, hal ini
disebabkan karena satu-satunya kebenaran dan kebijaksanaan ada pada firman
Tuhan.Pada abad 12 dimana perkembangan filsafat mengalami peningkatan yang luar
biasa, hal ini ditandai dengan adanya Universitas-universitas, disamping
ordo-ordo. Ordo semacam sekumpulan orang dibawah seorang imam guna hendak
mencapai kesempurnaan hidup, dengan meninggalkan masyarakat ramai dan
duniawi. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir seperti:Anselmus,
Alberadus, Albertus Manfus. Pemikiran filsafatnya berkisar tentang penyelesaian
hubungan antara akal dan wahyu dan juga tentang universalia.Abad 14-17
pemikiran filsafat ditandai dengan munculnya aliran-aliran filsafat. Ini adalah
masa dimana menuju pada filsafat modern. Yang menjadi dasar timbulnya pemikiran
kefilsafatan ini adalah kesadaran individu yang kongkrit. Pada masa inipula di
Eropa terjadi minat orang terhadap filsafat Yunani senakin besar dan berusaha
mengembalikan pemikiran tersebut. Masa ini dikelan dengan masa Renaisance.Pada
masa ini pemikiran filsafatnya mengarah pada individu yang konkrit sekaligus
menjadi subjek dan objeknya masing-masing manusia menjadi barometer dalam
menetapkan sebuah dan menentukan akan kebenaran dan kenyataan. Dalam situasi
macam ini hubungan antara agama dan filsafat menjadi cair, dalam artian agama
ditinggalkan oleh filsafat (Koentowibisono; 182;4). Masing masing kembali pada
dasarnya sendiri, artinya agama mendasarkan dir pada imam dan kepercayaan pada
firman Tuhan dalam menghadapi pelbagai permasalahan, sedangkan filsafat
mendasarkan diri pada akal dan pengalaman. Perkembangan selanjutnya jaman
pencerahan pada abad ke 18, dikatakan demikian karena adanya Tasionalisme,
semakin lama kemampuan manusia akan menjadi tumpahan harapan; pada ahirnya
perkembangan filsafat pada abad ke 19 yang mengarah pada filsafat ilmu
pengetahuan, dimana persoalan filsafat diisi dengan usaha manusia mengenai cara
bagaimana caranya dan apa sarana yang dipakai untuk mencari kebenaran dan
kenyataan.Imanuel Kant (1724-1804) dikatakan sebagai penyempurna pencerahan
sebab pemikiran filsafat memuat suatu gagasan baru yang akan memberikan kepada
segala arah dikemudian hari.Menginjak abad 19 keadaan dunia filsafat terpecah
belah, ada filsafat Amerika, filsafat Inggris, filsafat Jerman, filsafat
Prancis dan lain lain. Pada masa ini pemikiran filsafat mampu membentuk
kepribadian terhadap masing-masing bangsa dengan pemikiran dan cranya sendiri.
Dengan demikian perlahan-lahan filsafat kontemporer mulai tumbuh. Mulai saat
ini tidak ada lagi aliran ataupun tokoh yang mendominasi filsafat.Filsafat
pragmatis di Amerika Serikat timbul karena meragukan kemampuan akal dan ilmu
pengetahuan positif. Filsafat hidup yang berkembang di seluruh eropa tetapi
mempunyai bentuk dan coraknya sendiri di pelbagai negara. Pada ahirnya sebagian
besar aliran filsafat menunjukan perbadeaan yang sangat tajam, akan tetapi
adanya kesamaan juga yaitu, reaksi terhadap pemikiran yang
substansional-metafisik.
Kecenderungan kearah secara praktis terhadap
filsafat dalam kaitanya dengan manusia secara individu dan sosial. Dalam abad
20 inilah dikatakan Van Peursen sebagai pemikiran filsafat secara Fungsional
(Koentowibisono, 1982;4).
C.
Pengertian
Ilmu
Dalam filsafat ilmu atau Sains
dibagi dalam tiga bagian ialah Ontologi,Epistemologi dan Aksiologi yaitu :
a.
Ontologi yaitu segala
sesuatu yang bertalian dengan terbentuknya ilmu atau meliputi apa hakikat ilmu
itu,apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah
yang tidak terlepas dari persepsi filasafati tentang apa dan bagaimana yang ada
itu.
b.
Epistemologi yaitu
dimaksudkan dengan makna ilmu atau seluk beluk ilmu itu sendiri,apa kemampuan
dan keterbatasannya dan ilmu meliputi sumber,sarana dan tata cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah) atau membicarakan tentang
kebenaraan.
c.
Aksiologi yaitu segi
kegunalaksanaan dari ilmu ialah hal-hal yang bertalian dengan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup dan Aksiologi meliputi nilai-nilai (values)
yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau
kenyataan,sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi dalam
berbagai kawasan seperti kawasan sosial.Lebih lanjut itu nilai-nilai itu juga
ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai Conditio Sine Quanon yang wajib dipatuhi
dalam kegiatan kita baik dalam penelitian maupun didalam menerapkan ilmu.
D.
Filsafat
Ilmu Dan Ilmu Penetahuan
Menurut Didi (1997) ilmu pengetahuan
(dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan
sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara
yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran
ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai
implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus
memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada
kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu,
perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh
karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output
perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran
manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang
dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu
yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran
rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995)
yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat
penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan
(Hidajat 1984a).
Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan
rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan
memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu
kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran
cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan
yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan
pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir
rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat
dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan
jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara
rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan
berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris
yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan
implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan terminologi,
empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau
eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan
pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang
telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262).
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat
tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja
fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta
yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian
pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh
pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran
manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan
(Khan 1983). Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut
pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau
sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut
pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820). Dengan demikian rasionalitas mencakup
dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat
alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas
bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang
menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan
saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal.
Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki
pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil
penginderaan saja. Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh
kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta
(objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu
pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme,
empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses
berpikir ilmiah.
Karena itu
sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu
pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme,
empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat
1984b). Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap
benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian
atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak
boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran
pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan
kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus
Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 &
729). Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan
makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya
sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan
sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma
dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan.
Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan
konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang
membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya
sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena
ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai
manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu
pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir
seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang
ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan.
Hal ini perlu
dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai
pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi
(intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan
(Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang
dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka
perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis
yang cukup serius (Kuhn 1970).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dan Saran
membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang
terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki
paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan
seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan
dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia
Hampir semua kemampuan pemikiran
(thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang
dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir
ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan.Dengan demikian penulis
dapat menyimpulkanbahwa antara ilmu Pengetahuan dan ilmu Filsafat anda
persamaan dan perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat Posterior kesimpulannya
ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan
Filsafat bersifat priori kesimpulannya ditarik tanpa pengujian,sebab Filsafat
tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena
Filsafat bersifat Spekulatif.Disamping adanya perbedaan antara ilmu dengan
filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran.Ilmu memiliki
tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu
digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta sedangkan
filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakat itu
darimana awalnya dan akan kemana akhirnya.selanjutnya kritik dan saran kami
harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja
dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari
ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan
ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral.