Thursday, 27 November 2014

Model-Model Kebijakan Publik



Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang dipilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. [1]Model adalah isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris, sehingga model seringkali sulit diuji kebenarannya di lapangan. Namun model tetap dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian, terutama penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan baru. Model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep yang digunakan untuk mengamati gejala sosial. Model merupakan representasi sebuah realitas. Model sangat bermanfaat dalam mengkaji kebijakan publik, karena :
1.    Kebijakan publik merupkan proses yang kompleks, dengan sifat model yang menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang kompleks tersebut.
2.    Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam memperjelas kebijakan publik akan semakin berguna.
Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1.      Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih jelas.
2.      Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3.      Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4.   Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat mengerti.
5.      Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6.      Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model, pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat kita berpikir dan menjelaskan.[2]

Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :
1.      Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2.      Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi.  Para elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3.      Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.
4.      Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5.      Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6.      Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya.  Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).

Gambar 1 : Diagram Model Elitis

Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan cara :
1.      Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2.      Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.      Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4.      Memaksakan kompromi tersebut.

Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan.[4] Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1.      Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2.      Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3.      Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4.      Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5.      Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6.      Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi pemimpin politik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

Model Sistem/ Policy as System output

Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs).

Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.

Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :

1.      Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan;
2.      Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3.      Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).

Menurut Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat diperoleh petunjuk mengenai[5] :

1. Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik ?
2. Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?
3. Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan mempengaruhi sistem politik?
4. Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan publik?
5. Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijakan publik?
6.      Bagaimanakah kebijakan publik melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkungan dan sistem politik itu sendiri ?

Gambar 3: Diagram Model Sistem
Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1.      Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan jelas.  Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2.      Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3.      Para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4.      Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5.      Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.
6.      Investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.
7.       Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing alternatif.

 
Model Penambahan ( The Incremental Model)/ Policy as Variation on the Past.

Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :
1.      Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2.      Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3.      Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
4.      Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5.      Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6.      Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan perubahan terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.

Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.

Game Teori/ Policy as Rational Choice Competitive Situations.

Menurut Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu :
1.      Kebijakan yang akan diambil bergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
2.      Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan oleh masing-masing pemain;
3.      Pemain-pemain selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam pengambilan keputusan.
 Menurut model ini pilihan kebijakan akan dijatuhkan pada pilihan yang saling menguntungkan, dimana pembuat kebijakan senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.


Policy as Institutional Activity

Model ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan, dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model ini yang membentuk kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, dilain pihak, betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak mendapat perhatian dari lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi kebijakan publik.

Lembaga pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam kebijakan publik, yaitu :
1.      Pemerintah memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
2.      Kebijakan-kebijakan pemerintah memerlukan universalitas.
Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.


                                                                                                                                       
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. 
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2005. 
Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004.
Wayne Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. 
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2003


________________________________________
[1] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2003, hal.233.
[2] Wayne Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 56.
[3] Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Jogjakarta, 2005, hal. 36.
[4] Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal.31.
[5] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 68.

No comments: