Model
kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang dipilih dari
suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model
kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi
kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan.
[1]Model adalah isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris, sehingga model
seringkali sulit diuji kebenarannya di lapangan. Namun model tetap dapat
digunakan sebagai pedoman dalam penelitian, terutama penelitian yang bertujuan
untuk mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan baru. Model menjadi pedoman
untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep
yang digunakan untuk mengamati gejala sosial. Model merupakan representasi
sebuah realitas. Model sangat bermanfaat dalam mengkaji kebijakan publik,
karena :
1. Kebijakan publik merupkan proses yang
kompleks, dengan sifat model yang menyederhanakan realitas akan sangat membantu
dalam memahami realitas yang kompleks tersebut.
2. Sifat alamiah manusia yang tidak mampu
memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka
peran model dalam memperjelas kebijakan publik akan semakin berguna.
Menurut
Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat
kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1. Apakah model menyusun dan menyederhanakan
kehidupan politik sehingga dapat memahami hubungan-hubungan tersebut dalam
dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih jelas.
2. Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek
penting dalam kebijakan publik.
3. Apakah model kongruen (sama dan sebangun)
dengan realitas.
4. Apakah model mengkomunikasikan sesuatu
yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat mengerti.
5. Apakah model mengarahkan penyelidikan dan
penelitian kebijakan publik.
6. Apakah model menyarankan penjelasan bagi
kebijakan publik.
Ketika
kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan
kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model,
pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat
kita berpikir dan menjelaskan.[2]
Model
Elitis/Policy as Elite Preference
Model
ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai
dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan
ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :
1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok
kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya
sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai untuk masyarakat
sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2. Kelompok kecil yang memerintah tersebut
bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para
elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke
elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan
menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus
elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.
4. Elit memberikan konsensus pada nilai
dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5. Kebijakan publik tidak merefleksikan
tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6. Para elit secara relatif memperoleh
pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya elit
mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model
elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan
kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem
politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang
mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya.
Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras pandangan
bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan
demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari
kaum elit ke massa (rakyat).
Gambar
1 : Diagram Model Elitis
Model
Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model
ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam
masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki
latar belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal
maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah.
Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka
bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang
sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik
pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk
mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik
mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar
kelompok tersebut, dengan cara :
1. Menetapkan aturan permainan dalam
perjuangan kelompok;
2. Mengatur kompromi-kompromi dan
menyeimbangkan kepentingan;
3. Memberlakukan kompromi yang telah dicapai
dalam bentuk kebijakan publik;
4. Memaksakan kompromi tersebut.
Model
pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh
sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan
yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan
kebijakan atau pengambilan kebijakan.[4] Padangan Pluralis menurut Robert Dahl
dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1. Kekuasaan merupakan atribut individu
dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan
keputusan.
2. Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu
tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk
keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut dibuat maka hubungan-hubungan
kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh
seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak
dibuat.
3. Tidak ada pembedaan yang tetap antara
elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi
dalam waktu yang lain.
4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai
mobilitas yang tinggi.
5. Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara
komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan
untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi dapat dianggap berada diantara
pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar menawar
atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi pemimpin politik.
Dalam
model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang
tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan
kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau
kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang
menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut
ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses
terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.
Model Sistem/ Policy as System
output
Model
sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai
interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat
kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam
pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat
kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan
masukan (inputs dan outputs).
Menurut
model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem
politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan
kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang
timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai
masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan
oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut
dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik
adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang
berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu
masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai
secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan
publik.
Menurut
model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik.
Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat
diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi
keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan
antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam
menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem
politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.
Untuk
mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu
mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada
pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan
elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi
antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui
tiga hal, yaitu :
1. Menghasilkan outputs yang secara layak
memuaskan;
2. Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang
berakar dalam sistem itu sendiri;
3. Menggunakan atau mengancam untuk
menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).
Menurut
Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat diperoleh petunjuk mengenai[5] :
1.
Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap
sistem politik ?
2.
Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah
tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?
3.
Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan
mempengaruhi sistem politik?
4.
Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan
publik?
5.
Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi
kebijakan publik?
6. Bagaimanakah kebijakan publik melalui
mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkungan dan sistem politik itu sendiri ?
Gambar
3: Diagram Model Sistem
Model
Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model
rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional
dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat
keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan
yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang
dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan
alternatif-alternatif yang lain.
Dalam
model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1. Mengetahui semua nilai-nilai utama yang
ada dalam masyarakat.
2. Mengatahui semua alternatif kebijakan
yang tersedia.
3. Mengetahui semua konsekuensi dari setiap
alternatif kebijakan.
4. Memperhitungkan rasio antara tujuan dan
nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5. Memilih alternatif kebijakan yang paling
efisien.
Model
ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu
masalah tertentu. Masalah ini dapat
dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat
dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2. Tujuan, nilai atau sasaran yang
mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3. Berbagai alternatif untuk mengatasi
masalah perlu diselidiki.
4. Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang
timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang
menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan
memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan,
nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan
proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Namun
ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1. Para pembuat keputusan tidak dihadapkan
pada masalah-masalah yang konkrit dan jelas.
Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah
dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah
tersebut tidak tepat.
2. Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat
oleh para pembuat keputusan. Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai
cukup informasi mengenai alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah.
Pada kenyataannya para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang
tidak memadai karena desakan masalah yang membutuhkan penanganan sesegera
mungkin.
3. Para pembuat keputusan publik biasanya
dihadapkan dengan situasi konflik daripada kesepakatan nilai. Sementara
nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan atau diukur
bobotnya.
4. Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan
tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan
tujuan masyarakat, sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran
mereka sendiri.
5. Para pembuat keputusan mempunyai
kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat
mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.
6. Investasi yang besar dalam program dan
kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif
yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.
7. Terdapat banyak hambatan dalam
mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan
alternatif dan konsekuensi dari masing-masing alternatif.
Model
Penambahan ( The Incremental Model)/ Policy as Variation on the Past.
Model
inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya
melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model
ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara
aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni
:
1. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis
empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2. Para pembuat keputusan hanya
mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi
dan alternatif hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3. Untuk setiap alternatif, pembuat
keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat
keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5. Tidak ada keputusan tunggal atau
penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6. Pembuatan keputusan secara inkremental
pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan
terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada
mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan
yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara
banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih
mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya
merupakan perubahan terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika
menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian
besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka
mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Dalam
pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya
berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi
dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat
mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.
Game
Teori/ Policy as Rational Choice Competitive Situations.
Menurut
Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu :
1. Kebijakan yang akan diambil bergantung
pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
2. Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua
atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan oleh masing-masing pemain;
3. Pemain-pemain selalu dihadapkan pada
situasi yang serba bersaing dalam pengambilan keputusan.
Menurut model ini pilihan kebijakan akan
dijatuhkan pada pilihan yang saling menguntungkan, dimana pembuat kebijakan
senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.
Policy
as Institutional Activity
Model
ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok
pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan,
dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model
ini yang membentuk kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga
pemerintah, dilain pihak, betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila
tidak mendapat perhatian dari lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan
menjadi kebijakan publik.
Lembaga
pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam kebijakan publik, yaitu :
1. Pemerintah memberikan legitimasi kepada
kebijakan-kebijakan.
2. Kebijakan-kebijakan pemerintah memerlukan
universalitas.
Dengan
demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa
kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan
mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan
memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu dan
kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang
Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Budi
Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2005.
Eddi
Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan
Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004.
Wayne
Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
William
N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press,
Jogjakarta, 2003
________________________________________
[1]
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta, 2003, hal.233.
[2]
Wayne Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 56.
[3]
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Jogjakarta,
2005, hal. 36.
[4]
Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan
Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004,
hal.31.
[5]
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hal. 68.
No comments:
Post a Comment