Salah satu keberhasilan
kekuasaan Napoleon Bonaparte adalah dia berhasil mengokupasi beberapa wilayah
Eropa di sekitar Perancis, termasuk Nederland. Napoleon menjadikan Nederland
sebagai daerah persemakmuran Perancis dengan nama Republik Bataaf. Republik ini
diserahkan kepada adik Napoleon (Napoleon III). Konsekuensi logis dari okupasi
ini adalah Nederland harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Perancis,
termasuk Code Penal Perancis. Ketika penjajahan Perancis di Nederland sudah
berakhir, Belanda mengadopsi ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Nederland 1881. Karena
berlakunya asas konkordansi anatara Nederland dan Hindia Belanda, maka masuklah
ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Hindia Belanda 1918. Selanjutnya asas umum dalam semua hukum
menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa yang terjadi dan tidak
mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6Algemene Bepalingen
van wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang
bisa menyatakan suatu undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan
yang secara hirarki tingkatannya lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri
(undang-undang dasar/konstitusi). Artinya suatu undang-undang tidak bisa
menyimpangi ketentuan non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan
kewenangan untuk penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945,
Indonesia mengalami perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum
nasional. Perubahan ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya
akan dijadikan pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya. Selain akan
dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam undang-undang dasar ini juga berlaku
ketentuan peralihan, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen)
menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ini berarti peraturan
perundang-undangan yang ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku,
sebelum dikeluarnya ketentuan baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya
ketentuan Pasal 1 KUHPidana (Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya
asas legalitas dan non retroaktif.
Mengapa ketentuan ini kemudian
perlu dibicarakan? Sebab aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945
(sebelum amandeman), tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan
eksplisit tentang berlakunya asas legalitas dan non retroaktif. Berarti, secara
teoritis UUD 1945 (sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya
yang merumuskan ketentuan asas legalitas.[1]
Sesaat setelah pembubaran
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950, Indonesia menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sebagai pengganti Konstitusi RIS, dan
menunggu disusunnya undang-undang dasar baru. Dalam ketentuan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 dicantumkan ketentuan berlakunya asas legalitas, ketentuan
ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) yang berbunyi, “Tidak seorang juapun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum
yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kemudian untuk melindungi ketentuan hukum pidana adat, yang
tidak tertulis, agar tetap berlaku, serta menjunjung tinggi ketentuan asas
legalitas, maka dikeluarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang
Darurat No. 1 Tahun 1951, yang berbunyi:
”Hukum materiil sipil
dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini
berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili
oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan
pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,
maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10
tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim
tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di
atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling
mirip kepada perbuatan pidana itu.”
Pada perjalanan selanjutnya
ternyata Indonesia tidak mampu membentuk undang-undang dasar baru. Dewan
Konstituante hasil Pemilu 1955, yang diberi tugas menyusun undang-undang dasar
baru tidak mampu menyelesaikan tugasnya secara cepat, sebagai akibat dari
pertentangan kepentingan partai-partai, yang tidak pernah menemukan titik temu.
Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno, melalui Dekrit Presiden
menyatakan pembubaran Dewan Konstituante, penggunaan kembali Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Namun
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951,
dinyatakan tetap berlaku, walaupun ketentuan UUDS 1950 sudah tidak berlaku
lagi.
Seiring dengan berlakunya
kembali UUD 1945 (asli), maka berarti pula ketentuan yang mengatur tentang
berlakunya asas legalitas dalam hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada
yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini
dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang
memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif.
Masa Orde Lama di bawah rezim
Sukarno, banyak menawarkan konsep-konsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya
MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan
menyimpang dari ketentuan undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno
tumbang, dan digantikan oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto, belajar dari
pengalaman masa sebelumnya yang banyak melakukan penyimpangan terhadap
konstitusi, maka tema besar pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni
dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang
dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak
boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam
melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenang-wenang. UUD 1945
dijadikan alat untuk memupuk kekuatan ekonomi bagi sekelompok masyarakat
tertentu. Model pembangunan rezim Suharto yang menganut ideologi developmentalism mensyaratkan adanya stabilitas
politik dan keamanan yang kuat sebagai harga mati. Akibatnya memungkinakan
rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia. Di
tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak pertengahan 80-an.
Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right) ini ialah, ditempatkannya isu
demokratisasi pada bagian penting, dalam pergerakan modal internasional. Secara
khusus, sistem kapitalisme negara yang dijalankan di Indonesia, tidak lagi
efektif bagi perputaran modal. Kemudian muncullah tuntutan bagi rezim untuk
membuka diri terhadap desakan liberalisasi politik dan ekonomi. Di beberapa
belahan negara Dunia Ketiga, inilah awal dimulainya proyek redemokratisasi,
yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998
rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh. Konsekuensi dari tumbangnya rezim
Suharto adalah adanya upaya untuk mencapai sistem politik yang mengarah pada
demokrasi subtansial.[2] Artinya bagaimana kemudian
sistem demokrasi yang selama ini kita anut bisa mencapai substansi dari sistem
demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi proses penting dalam
upaya tersebut.
Tidak ingin mengulangi
pengalaman pahit dimasa yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang
melegitimasi dirinya dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul
suara-suara untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang
amandemen pertama berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
tanggal 19 Oktober 1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses
amandemen. Rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan
perubahan ke empat UUD 1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses
amandemen UUD 1945 membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci
dan memberikan kepastian hukum.
Mengenai pencantuman asas
legalitas dan prinsip non retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian
hukum bagi warga negara, UUD 1945 pascaamandemen kembali memasukkan ketentuan
tersebut dalam pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas
legalitas dan prinsip non retroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 28 I ayat (1). Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang
Dasar 1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan
penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah
dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan “…, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kata-kata yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaaan apapun memberikan penegasan bagi ketentuan pasal
tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi memberikan peluang bagi berlakunya suatu
aturan yang menganut prinsip berlaku surut (retroaktif). Bambang Purnomo
mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan memperlakukan suatu
undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan khusus yang mengatur
hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk itu. Hal itu boleh
dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan dan hanya terhadap
perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya membahayakan kepentingan umum.[3]
No comments:
Post a Comment